Rabu, 16 September 2009

Warga Kelas Dua

TANPA mengalienasi peran warga Cirebon, dalam pandangan simpel dan tidak pesimistik , warga Cirebon kerap diperlakukan bagai kelas dua di Jawa Barat. Tulisan ini tidak dimaksud untuk mengedepankan sikap naif seorang warga Cirebon yang giris memandang perlakuan etnis lain terhadap warga Cirebon. Akan tetapi mengetengahkan betapa sampai kini pemerintah Propinsi Jawa Barat masih bersikap ambivalen menerapkan solusi atas berbagai persoalan yang muncul sebagai dinamisasi masyakarat Cirebon. Dalam beberapa hal perlakuan itu mengemuka ketika pemprop Jabar tetap menempatkan Bandung sebagai fokus pembangunan struktur dan infrastruktur Jawa Barat. Lihat saja pembangunan fisik berupa jalan lingkar, tol kota, bangunan menjulang dan mentereng -- sehingga mampu menarik interes untuk berkegiatan di Bandung.

Padahal pihak kolonial Belanda tidak merancang Bandung sebagai hunian, melainkan tempat plesir yang asik dikunjungi pada akhir pekan. Kolonial Belanda membangun jalan-jalan kota Bandung tidak selebar jalan-jalan di kota Cirebon. Begitu pula letak geografis Cirebon yang memiliki laut masih kurang didayagunakan secara optimal oleh pemprop Jabar. Akibatnya, matinya jalur ekonomi pelabuhan Cirebon yang sudah lebih 10 tahun kurang diperhatikan serta terkesan dibiarkan mati pelahan-lahan. Ketiga, pertumbuhan lulusan SLTA Cirebon tidak menyegerakan pemprop Jabar mendirikan sebuah Peguruan Tinggi Negeri umum untuk menggairahkan dunia akademik Cirebon. Tampak pemprop Jabar masih berkehendak menarik lulusan SLTA Cirebon untuk berdesakan di Bandung yang kian sumpek. Keempat, keinginan warga Cirebon mengeksplorasi keterbukaan (ciri khas masyarakat pantai) sering luluh di hadapan feodalisme birokrat gedung sate. Berbagai hal yang disinggung semula merupakan sebagian kecil yang biasa mengemuka dalam dinamika masyarakat Cirebon.

Artinya empat soal yang dirilis di atas jika disederhanakan bermuara pada satu hal, yakni keinginan warga Cirebon untuk mengelola dan atau mendayagunakan potensinya masih terkendala lima tusuk daging sate di atas bangunan utama gedung sate Bandung. Dengan kata lain, Cirebon tetap dianggap bagai sekerat daging yang dirangkai dalam lima kerat tusuk sate itu dengan "ketentuan" teruslan menjadi subordinat Jawa Barat. Jangan melawan leluhurmu di tatar Pajajaran.

Seperti ditulis di paragraf awal, tulisan ini tidak diawali sikap naif maupun pesimistik yang luar biasa menyangkut kurang kondusifnya perlakuan politik pemprop Jawa Barat terhadap Cirebon. Tulisan pendek ini pun ingin merepresentasikan lemahnya para petinggi Cirebon mengelola wilayahnya sendiri. Pejabat eksekutif dan legislatif Cirebon tampak asik terbuai dengan julukan Cirebon Kota Wali hingga melupakan apa yang telah dilakukan walikota. Gejala ini pun menguatkan pemprop Jabar untuk meneruskan posisi Cirebon sebagai warga kelas dua di Jawa Barat.

Bahkan pada sejumlah buku sejarah cirebon pun tak lepas dari ketuaan Pajajaran yang kelak menurunkan Pangeran Walangsungsang, Prabu Kiansatang yang kemudian menitiskan Sinuhun Sunan Gunungjati. Cirebon dalam konteks sejarah pun adalah anak Pajajaran (Jawa Barat, Sunda) dan dengan demikian sungguh tidak etis bila hendak jadi nomor satu atau warga kelas satu di Jawa Barat. Sebaliknya, lantaran leluhur Cirebon tak lain adalah anak kandung Jawa Barat maka patuhilah semua kebijakan Jawa Barat dan teruslah setorkan pajak daerah dan retribusi daerah Cirebon ke Jawa Barat (Bandung).

Dalam berbagai kesempatan, sekumpulan orang muda di cirebon biasa mengedepankan keinginan untuk lepas dari propinsi jabar lantaran cirebon memiliki kekuatan untuk melakukannya. Ketika berbincang dengan teman aktivis GMNI di Tangerang, ia mengatakan bahwa Belanda lebih bagus memilah propinsi di Indonesia, bukan semata merujuk kepada batas geografis, melainkan ada tinjauan kultur. Karesidenan Cirebon yang meliputi Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan dan Majalengka sesungguhnya berawal dari posisi kultur masyarakat Pantura sedangan Kuningan dan Majalengka ditaut berdasar faktor sejarah. Maka wajar jikalau lima daerah tingkat 2 itu menghendaki pemisahan dari propinsi jawa barat,; ujar teman saya.

Jujur, saya belum melihat alasan logis teman-teman penggiat pembentukan Propinsi Cirebon selain alasan politik dan kekuasaan. Bagi saya jika alasannya terjejak pada politik dan kekuasaan, pembentukan propinsi Cirebon jadi tidak menarik karena hanya akan membengkakkan pengeluaran pajak dan retribusi yang mesti dibayarkan masyarakat kepada pemerintahan baru. Kendala yang lebih krusial adalah penghentian sementara pemekaran propoinsi dan kabupaten di Indonesia menyusul peristiwa pilu Tapanuli Selatan, tahun lalu.

Kembali ke soal semula. Jawa Barat mestinya mulai berbenah menghilangkan kesan penempatan Cirebon sebagai warga kelas dua. Kendati tidak secara eksplisit, akan tetapi sedikitnya jumlah orang Cirebon berprestasi yang menduduki jabatan strategis di Gedung Sate, bahkan sampai kini belum ada yang lebih atas dari jabatan asisten gubernur, mengakibatkan warga cirebon yang berprestasi langsung melenggang ke Jakarta.

Pengakuan pemprop jabar pada 2007 atas Kota Cirebon memang pernah terjadi ketika menggelontorkan dana senilai Rp 25 milyar atas alasan peningkatan indeks prestasi manusia. Namun sayang sekali dana sebesar itu menguap dan tidak dikelola dengan baik serta profesional oleh wong cerbon, bahkan tidak ada pertanggungjawaban uang rakyat Jawa Barat itu. Berangkat dari pengalaman itu kiranya pemkot cirebon semestinya menjadi awas dan trengginas melaksanakan program pendanaan dari pemprop jabar berikutnya. Bukan melulu berputar pada keinginan menghabiskan dana (tanpa mbok bapa) itu dan tidak berbekas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat cirebon.

Dengan kata lain jika cirebon ingin naik status tidak jadi warga kelas dua di jawa barat, sudah saatnya melakukan pembenahan internal terutama dalam hal pengelolaan dana rakyat. Untuk menjadi warga kelas satu pun tidak sekadar melakukan perlawanan terhadap Jawa Barat secara mendirikan propinsi sendiri. Tapi akan lebih bermakna seandainya melakukan pembenahan birokrasi, mengembalikan fungsi kebijakan kepada publik, membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan --bukan hanya mall-- menyediakan ruang hijau terbuka yang dipatok undang-undang sebesar 20% dari luas kota, dan melaksanakan program menejemen kota berbasis ekonomi kerakyatan.

Jikalau hal-hal di atas tadi dapat dilaksanakan dan terealisasi dalam waktu segera, warga cirebon tidak akan peduli mau ditempatkan pada posisi kelas dua atau kelas tiga dan seterusnya oleh pemerintah propinsi jawa barat.

1 komentar:

  1. Kang, tulisan akang mengenai bahasa daerah di kompas dan tulisan kawan dari indramayu menarik untuk bahan penelitian saya. tlg dikirim ke blog atau face book saya ya. trims

    BalasHapus