Senin, 28 September 2009

Distribusi Kekayaan Negara

Oleh Dadang Kusnandar

BERBAGAI cara penyampaian kata-kata, ekspresi, dan ajakan saling memaafkan tertarta merangkai kalimat indah pada sms yang saling bertukar sesama saudara dan teman menjelang lebaran idul fitri 1430 H. Idul fitri dan ramadhan terus berulang, begitu juga kata maaf. Agaknya ada pengulangan yang diam-diam kita sukai: idul fitri yang boleh makan minum di siang hari dan menerima/ memberi maaf lantaran kita suka berbuat salah. Idul fitri yang diterakan dengan kesucian insan yang telah sebulan melaksanakan puasa , tarawih, tadarus, dzikir, shadakoh, dan zakat harta --mengingatkan kita tentang satu hal. Yakni ketekunan pada urusan ukhrawi tetap harus dilengkapi dengan urusan duniawi.

Urusan bermanja-manja dengan Tuhan juga harus ditutup dengan kepedulian kepada orang lain. Ibadah di bulan ramadhan ternyata disudahi oleh penunaian zakat fitrah dan zakat harta. Puasa tahun 2009 yang didera suhu bumi yang terus naik, pada akhirnya adalah kepedulian kepada orang lain. Zakat yang kita keluarkan sebagai ibadah sosial senantiasa ingatkan pada distribusi kekayaan warga negara, yang mestinya diatur oleh negara. Zakat dalam pengertian ini adalah empati kita melihat ketimpangan sosial ekonomi dan buruknya distribusi kekayaan negara bagi warganya sendiri. Zakat dan distribusi kekayaan tak pelak jadi bagian penting manifestasi ibadah sepanjang bulan ramadhan.

Distribusi kekayaan negara dalam relasi ini adalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat oleh negara: pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik yang manusiawi. Pemenuhan hak-hak dasar itu pun harus disertai oleh ketepatan alokasi dana rakyat yang terhimpun dalam APBN. Pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik merupakan tugas utama negara kepada seluruh rakyatnya. Artinya jika negara tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang manusiawi dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya maka negara telah gagal melaksanakan tugasnya sebagai pelayan publik. Kegagalan yang terus berulang ini semestinya berakhir karena tiap tahun selalu bertemu dengan bulan ramadhan yang mengajarkan kesalehan dan kearifan sosial. Dengan kata lain belajar dari ramadhan, terutama distribusi zakat harta di ujung ramadhan, pemerintah dapat mempeljari sistem zakat ini bagi kepentingan warga negara.

Jika ratusan tahun silam saja pemerintahan/ khilafah islamiyah telah mampu melaksanakan distribusi kekayaan negara kepada seluruh warganya, sungguh tepat jikalau ide dasar ini diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat indonesia. Angka kemiskinan yang masih membuat kita giris, dalam hitungan puluhan juta orang dan puluhan persen dari jumlah rakyat, seharusnya dapat segera tertangani apabila didukung kebijakan publik untuk segera keluar dari kemelut kemiskinan. Apabila seluruh pejabat negara TIDAK menghamba kepada pemenuhan finansial dirinya, dan apabila pemerintah mengajak warga negaranya untuk sama-sama menjadi kaya raya menikmati kekayaan indonesia yang melimpah itu.

Di sisi lain juga harus ada political will kepala negara dan kepala daerah untuk membatasi penggunaan anggaran bagi kebutuhan sekunder. Pada contoh sederhana, pejabat yang telah memiliki kendaraan pribadi tidak harus menerima kendaraan dinas. Demikian pula halnya dengan rumah dinas dan sebagainya. Kita sungguh terperangah ketika mendengar pemda di indonesia menjual mobil dinas kepada pejabat yang telah menggunakan kendaraan tersebut dengan harga murah. Dan dalam waktu tak lama pemda membeli lagi kendaraan-kendaraan dinas bagi pejabat baru. Apresiasi atas kerja pejabat bukan diukur oleh pembelian sejumlah benda, melainkan penghargaan atas karya nyata. Artinya jikalau sang pejabat tidak menunjukkan prestasi apa pun selama masa kerjanya, maka buat apa diberi sejumlah benda; terlebih bila ia pun sudah memiliki benda yang sama.

Redistribusi kekayaan negara dapat dilakukan melalui langkah berani kepala daerah untuk memangkas dana-dana rakyat bagi pos-pos yang tidak simultan bagi penanganan kemiskinan rakyat. Belajar dari sepenggal kisah Jendral Sudirman yang menolak makan semangkok sup ayam sementara anak buahnya mengkonsumsi ubi, padahal beliau tengah sakit -- adalah bentuk kepemimpinan seorang yang mau sama-sama merasakan keprihatinan bersama. Zakat dan atau pajak maupun retribusi rakyat seharusnya mampu mengurangi jumlah kaum miskin di indonesia. Sungguh sulit dibayangkan bila suatu saat orang miskin berkata: kami tidak butuh harta kalian, kami ingin darah kalian! Inilah kejadian yang mengilhami penyerbuan Penjara Bastille menjelang Reolusi Prancis yang monumental itu.

Orang miskin sesungguhnya tidak menuntut banyak kepada negara, kecuali kemudahan perolehan hak-haknya sebagai warga negara. Kaum miskin yang terus menerus jadi objek itu mestinya dipulihkan dari ketertinggalannya. Untuk kaum miskin tidak ada yang lebih berharga selain wujud Undang-undang dan peraturan daerah yang berpihak kepada publik. Mereka hanya ingin agar pengelolaan kekayaan indonesia itu tidak cuma berputar pada golongan tertentu alias para penjarah keringat rakyat yang dikabarkan bekerja untuk rakyat miskin. Kaum miskin menghendaki perubahan yang secara serentak dapat mengakhiri kemiskinan mereka.

Sekali lagi jikalau pemerintah secara tepat melaksanakan pembangunan karakter bangsa, dalam pandangan saya harus diawali dari penggunaan APBN dan APBD yang tepat sasaran. Bukan memoles bangunan mentereng tapi dinyatakan membangun/ merenovasi dengan mark up harga yang nilainya besar. Bukan mengatakan membangun bila hanya tambal sulam sejumlah bangunan negara.

Kembali ke soal awal, distribusi zakat harta yang kerap dilaksanakan pada akhir ramadhan akan jadi lebih bermakna apabila dikombinasikan dengan pengelolaan keuangan negara yang tidak menyakiti perasaan publik. Terutama perasaan kaum miskin dan tertindas.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar