Rabu, 16 September 2009

Mengukuhkan Solidaritas Sosial

GEMPA yang berpusat di kedalaman 60 km laut Hindia beberapa hari lalu, memporandakan banyak kota di Jawa dan getaran 7,3 skala Ritcher itu pun terasa di mana-mana. Berbagai dukungan mengalir, kendati hanya 3 partai politik yang tetap hadir memberi sedikit bantuan di tempat korban. Setidaknya PDIP, Golkar dan PKS masih memiliki empati terhadap duka dan kepedihan korban; tidak hanya menjelang pemilu legislatif dan pilpres saja. Konstituen, bagaimana pun tetap harus disapa dan dinomorsatukan. Jika tidak, sangat mungkin akan ditinggalkan dan akhirnya berpaling -- malah jadi golput sekalian.

Membaca media cetak, beberapa no rekening bank untuk menyalurkan bantuan kepada korban pun tertera. Terserah pembaca, karena bukan besarnya nilai uang yang ditransfer ke rekening bank untuk kemanusiaan di area korban gempa; melainkan keiklasan kita dan kesediaan berbagi. Saya melihat di Dana Kemansiaan Kompas, ada yang menyumbang Rp 50 ribu dan Rp 5 juta. Alhamdulillah, kiranya Tuhan masih menyegerakan sebagian umatnya untuk saling berbagi sesama saudara yang kini ditimpa musibah.

Hilangnya keadaban publik (public civility) merupakan halangan terbesar tumbuhnya tunas-tunas solidaritas. Ketidakadaban publik merupakan pola pandang dan perilaku umum dalam masyarakat yang mengesampingkan dan menghancurkan kesejahteraan bersama. Orang dengan gampang berpaling dari penderitaan orang lain karena merasa penderitaan orang lain bukan menjadi persoalan dan tanggung jawab mereka. Jangan sampai kita kehilangan keadaban publik, terlebihsebagai mahluk Tuhan yang masih memiliki empati dihadapkan dengan kenyataan dan kegetiran saudara-saudara kita di lokasi bencana.

Dengan kata lain, di tengah kompetisi kehidupan perkotaan yang cenderung individualistik ternyata masih ada tangan-tangan dermawan yang siap mengalirkan sebagian rizkinya kepada yang berhak. Ini bukan cuma semangat ramadhan yang aduhai hebat itu, tetapi terlebih penting adanya dorongan dalam diri untuk peduli dan berbagi kasih. Sesama manusia tidak hanya bersaing merebut prestasi hidup yang mengabaikan kemanusiaan. Bukti itu tampak dalam kepdulian menyumbang korban bencana alam yang tertera di media cetak dan website. Sungguh, inilah agaknya keberpihakan serta kepedulian yang tersisa dan patut dipertahankan.

Melihat seorang ibu hamil 4 bulan yang tergeletak lemah di tenda darurat pasca gempa tasik ybll, terbayang betapa sulitnya asupan gizi, betapa fisiknya yang lemah juga didera trauma gempa yang mungkin saja menghancurkan rumah dan harta bendanya. Menatap anak-anak yang tetap bermain di dalam tenda darurat, terbesit rasa senyap manakala sang anak ingat rumahnya yang kini (bisa saja) telah rata dengan tanah. Ada realitas pedih di sana. Ada kehidupan yang hilang lantaran dirampas dalam sekejap, dan tak seorang pun kuasa mencegahnya.

Masalahnya kemudian, sampai di situ sajakah kepedulian sosial kita kepada korban gempa dan korban bencana lainnya? Bagaimana dengan korban lumpur Lapindo yang masih meradang? Terlebih sejak pemerintah dan DPR menyatakan luapan lumpur lapindo adalah proses alam bukan karena penggalian berlebihan demi keuntungan pabrik dan pemilik sahamnya.

Solidaritas sosial perlu dikukuhkan di tengah keringnya kemanusiaan kita yang terus menerus didera target pencapaian puncak-puncak kehidupan. Celakanya, puncak-puncak kehidupan itu senantiasa diukur berdasarkan perolehan materi. Sementara ukuran lain kadang kita abai. Boleh saja kita senang dengan rumah kita yang asri, mewah dan besar. Kita boleh bangga dengan mobil dan kendaraan lain yang mengantarkan ke kesibukan keseharian. Begitu pula kita boleh bangga dengan pundi-pundi emas yang tersimpan aman di bank, atau deposito yang passive income itu. Namun akan lebih bangga lagi jikalau kita pun lantas peduli kepada saudara-saudara kita yang tengah didera bencana. Tidur dan sebagainya di tenda-tenda darurat, dan menunggu uluran pemerintah untuk menyediakan rumah tahan gempa seperti di Yogyakarta atau Nanggroe Aceh Darussalam. Atau pembangunan rumah berbasis bambu sebagaimana komunitas Kampung Naga di Tasikmalaya.

Tapi kapankah pemerintah siap mengalokasikan dana milyaran rupiah bagi korban bencana di berbagai tempat di Indonesia? Seriuskah pemerintah melakukannya jikalau terhadap korban lumpur lapindo Jawa Timur terbukti bersikap ambivalen. Tak berani menindak pemilik modal! Bahkan membenarkan kesimpulan teknik yang disodorkan para teknisi "bayaran" PT Lapindo Brantras Inc. Corporation!

Jika terhadap korban gempa tasik saja, kepedulian atas nama kemanusiaan mengalir dengan sendirinya, kenapa hal yang sama tidak diberikan kepada korban lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur? Ke manakah partai politik yang rajin menancapkan bendera partainya di lokasi bencana? Ke manakah tangan-tangan mulia yang rela mengulurkan sebagian rizkinya itu? Setidaknya, adakah klausul tertentu yang ditujukan kepada pemerintah dan DPR yang akan dilantik 1 Oktober 2009 agar secepatnya menyelesaikan kasus Lapindo Brantas Inc?!

Bukan hanya kehidupan yang terampas, bukan cuma sulitnya bangkit dari keterpurukan lantaran lautan lumpur; namun bagaimana jika hal serupa pun melanda tempat lain yang dekat dengan lokasi penambangan serupa? Akan diamkah kita memandang korban-korban itu karena pemerintah dan DPR tegas mengatakan bahwa itu semua akan diganti bertahap (meskipun janji tinggal janji). Apakah kita nyinyir bila melihat korban berdemo di depan rumah pemilik saham Lapindo sambil menuangkan lumpur di halaman rumahnya?

Solidaritas sosial perlu dikukuhkan juga dalam bentuk empati yang bersifat politis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar