Rabu, 30 Januari 2013

Muludan: Kreativitas dan Proses Budaya



Oleh Dadang Kusnandar

MULUDAN di Cirebon merupakan peristiwa budaya dengan kemasan agama Islam. Sarana pengingat kelahiran Nabi Muhammad saw yang ditandai dengan peristiwa pelal pada 12 Rabiul Awal. Mulud diambil dari kata maulid, milad (bahasa Arab) yang berarti lahir. Artinya pada tanggal tersebut berlangsung sebuah peristiwa besar yang patut diingat (dan diperingati) karena bersamaan dengannya juga terjadi perubahan peradaban dunia.

Menurut sejarah, konon Maulid diadakan sebagai pemicu semangat perang manakala Panglima Shalahudin Al-Ayubbi mendapati pasukannya mengalami depresi akibat perang terlama sepanjang sejarah kemanusiaan, yakni Perang Salib, pada abad ke-12 hingga 13 Masehi. Memperingati kelahiran Nabi Suci Muhammad saw terbukti, memulihkan kembali semangat berperang, spirit tentara Islam yang luluh itu bangkit kembali dengan mengenang kisah hidup Sang Nabi.

Muludan dengan demikian bersejajar dengan pelbagai makna dan filosofi yang membingkai ajaran agama dalam pendekatan tradisi lokal. Pembacaan kitab Barzanji tak uruang menjadi penanda penting yang menaut agama Islam dengan tradisi lokal. Kisah Nabi Muhammad saw dibacakan di masjid yang dipimpin oleh ulama keraton lantas disudahi dengan makan minum pelepas dahaga ~adalah akulturasi budaya Hindu dan Islam. Pembacaan kisah Nabi ini mengiringi beberapa makna yang terkandung di dalam kitab tersebut. Setidaknya kisah hidup Nabi memberi spirit sekaligus referensi untuk menapakkan jejak kehidupan yang lebih baik.

Tiga keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan senantiasa semarak pada peristiwa Muludan. Kanoman sebagai pemula yang mengadakan kegiatan ini lantas diikuti Kasepuhan dan Kacirebonan; pada dasarnya adalah pangeling-eling atas kenabian Muhammad saw. Imbas peristiwa budaya itu memberi ruang ekspresi bagi sejumlah profesi. Pedagang, kerabat dan keluarga keraton, swasta, bahkan pemerintah daerah. 

Terjadinya transaksi dagang, promosi karya, maupun arena hiburan keluarga yang berlangsung sepanjang keramaian Muludan tidak lain ialah imbas (mungkin juga berkah) atas peristiwa besar kelahiran Sang Nabi. Kekuatannya juga ditunjang oleh kreativitas Wali Sanga tatkala menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa khususnya (lantas menyebar ke pulau lain). Pertemuan budaya setempat dengan kelihaian Wali Sanga menggunakan metoda percampuran, dalam teks ini bukan merupakan sinkretisme lantaran ia sama sekali tidak menyentuh persoalan `ubudiyah (persembahan individu secara langsung kepada Al-Khaliq). Melainkan proses kebudayaan yang dituangkan pada kemasan baru tanpa membuang nilai lama. Dalam relasi ini Muludan dapat disebut sebagai postmodernisme.

Kerinduan wong Cerbon yang mukim di luar Cirebon atas peristiwa Muludan pada umumnya karena terseret kembali ke masa kecil. Masa ketika di tahun-tahun mereka tinggal di Cirebon, bersama teman-teman kecilnya berjalan kaki atau naik becak datang ke Muludan. Menikmati hiburan seperti ombak banyu, korsel, komidi putar dan sebagainya. Juga beragam tontonan yang menegangkan, misalnya tong setan, potong leher dan lain-lain. Kerinduan atas peristiwa ini pun boleh dinamakan peristiwa budaya, sedikitnya bagi para pelaku. Kerinduan ini pun substansinya terfokus pada 12 Rabi`ul Awal, tanggal kelahiran orang suci yang mengubah jarum jam dunia dan peradaban manusia.

Muludan di tiga keraton Cirebon terpaut dengan banyak hal yang di dalamnya memungkinkan timbulnya interaksi antarmanusia. Dari sini budaya lahir. Muludan dengan sendirinya merupakan  sajian yang telah dihidangkan. Kita menikmatinya, menambahnya dengan menu baru, namun tetap berpegang pada ajaran agama Islam. Meminjam ujaran seorang kawan, “Orang Cirebon seharusnya memelihara ritual budaya dan situs yang ada, karena di tempat lain di Indonesia banyak orang membuat/ menciptakan situs, lalu dipublikasi seolah-olah bersejarah.”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar