Oleh Dadang Kusnandar
MULUDAN di Cirebon merupakan peristiwa budaya dengan kemasan
agama Islam. Sarana pengingat kelahiran Nabi Muhammad saw yang ditandai dengan
peristiwa pelal pada 12 Rabiul Awal. Mulud diambil dari kata maulid, milad
(bahasa Arab) yang berarti lahir. Artinya pada tanggal tersebut berlangsung
sebuah peristiwa besar yang patut diingat (dan diperingati) karena bersamaan
dengannya juga terjadi perubahan peradaban dunia.
Menurut sejarah, konon Maulid diadakan sebagai pemicu
semangat perang manakala Panglima Shalahudin Al-Ayubbi mendapati pasukannya
mengalami depresi akibat perang terlama sepanjang sejarah kemanusiaan, yakni
Perang Salib, pada abad ke-12 hingga 13 Masehi. Memperingati kelahiran Nabi Suci
Muhammad saw terbukti, memulihkan kembali semangat berperang, spirit tentara
Islam yang luluh itu bangkit kembali dengan mengenang kisah hidup Sang Nabi.
Muludan dengan demikian bersejajar dengan pelbagai makna dan
filosofi yang membingkai ajaran agama dalam pendekatan tradisi lokal. Pembacaan
kitab Barzanji tak uruang menjadi penanda penting yang menaut agama Islam
dengan tradisi lokal. Kisah Nabi Muhammad saw dibacakan di masjid yang dipimpin
oleh ulama keraton lantas disudahi dengan makan minum pelepas dahaga ~adalah
akulturasi budaya Hindu dan Islam. Pembacaan kisah Nabi ini mengiringi beberapa
makna yang terkandung di dalam kitab tersebut. Setidaknya kisah hidup Nabi
memberi spirit sekaligus referensi untuk menapakkan jejak kehidupan yang lebih
baik.
Tiga keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan
Kacirebonan senantiasa semarak pada peristiwa Muludan. Kanoman sebagai pemula
yang mengadakan kegiatan ini lantas diikuti Kasepuhan dan Kacirebonan; pada
dasarnya adalah pangeling-eling atas
kenabian Muhammad saw. Imbas peristiwa budaya itu memberi ruang ekspresi bagi
sejumlah profesi. Pedagang, kerabat dan keluarga keraton, swasta, bahkan
pemerintah daerah.
Terjadinya transaksi dagang, promosi karya, maupun arena
hiburan keluarga yang berlangsung sepanjang keramaian Muludan tidak lain ialah
imbas (mungkin juga berkah) atas peristiwa besar kelahiran Sang Nabi.
Kekuatannya juga ditunjang oleh kreativitas Wali Sanga tatkala menyebarkan
ajaran Islam di tanah Jawa khususnya (lantas menyebar ke pulau lain). Pertemuan
budaya setempat dengan kelihaian Wali Sanga menggunakan metoda percampuran,
dalam teks ini bukan merupakan sinkretisme lantaran ia sama sekali tidak
menyentuh persoalan `ubudiyah (persembahan individu secara langsung kepada
Al-Khaliq). Melainkan proses kebudayaan yang dituangkan pada kemasan baru tanpa
membuang nilai lama. Dalam relasi ini Muludan dapat disebut sebagai
postmodernisme.
Kerinduan wong Cerbon yang mukim di luar Cirebon atas
peristiwa Muludan pada umumnya karena terseret kembali ke masa kecil. Masa
ketika di tahun-tahun mereka tinggal di Cirebon, bersama teman-teman kecilnya
berjalan kaki atau naik becak datang ke Muludan. Menikmati hiburan seperti
ombak banyu, korsel, komidi putar dan sebagainya. Juga beragam tontonan yang menegangkan,
misalnya tong setan, potong leher dan lain-lain. Kerinduan atas peristiwa ini
pun boleh dinamakan peristiwa budaya, sedikitnya bagi para pelaku. Kerinduan
ini pun substansinya terfokus pada 12 Rabi`ul Awal, tanggal kelahiran orang
suci yang mengubah jarum jam dunia dan peradaban manusia.
Muludan di tiga keraton Cirebon terpaut dengan banyak hal
yang di dalamnya memungkinkan timbulnya interaksi antarmanusia. Dari sini
budaya lahir. Muludan dengan sendirinya merupakan sajian yang telah dihidangkan. Kita menikmatinya,
menambahnya dengan menu baru, namun tetap berpegang pada ajaran agama Islam.
Meminjam ujaran seorang kawan, “Orang Cirebon seharusnya memelihara ritual
budaya dan situs yang ada, karena di tempat lain di Indonesia banyak orang
membuat/ menciptakan situs, lalu dipublikasi seolah-olah bersejarah.”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar