Senin, 06 Juli 2009

Pilpres 2009: Proses Atau Parodi

Pemilu Presiden yang tersisa 2 hari ini tampaknya tidak mempengaruhi aktivitas warga. Publikasi televisi yang gencar : debat capres cawapres, iklan capres cawapres, dukungan yang terus mengalir kepada kandidat -- sepertinya terhenti ketika kantor pendidikan nasional kota Cirebon menetapkan Sabtu 4 Juli 2009 sebagai hari testing masuk ke SMP Negeri dan SMA Negeri / SMK Negeri. Pengumuman penerimaan siswa baru dijadwalkan Kamis 9 Juli 2009. Orang tua sibuk menyediakan berbagai sarana untuk penerimaan siswa baru karena proses belajar mengajar ditetapkan Senin 13 Juli 2009.

Pilpres yang menelan biaya Rp 25 triliun itu bagai "tenggelam" oleh kesibukan agar anak dapat diterima di sekolah yang diminati. NEM atas UASBN yang dinilai 50% dan 50% sisanya dari hasil test, tetapi bagi pendaftar yang berprestasi dengan melampirkan sertifikat yang dilegalisir diknas setempat konon sudah memperoleh angka 20%.

Memasuki hari tenang sejak Senin 6 Juli ini hampir tidak ada keriuhan lagi, selain di studio televisi yang gencar mematut-matut Pilpres 2009 sebagai turning point Indonesia ke depan. Lima tahun ke depan Indonesia ditentukan oleh pilihan kita di TPS. Tetapi inilah asiknya bangsa Indonesia : lebih intens menindaklanjuti kebutuhan sesaat. Memang tidak salah jikalau orang tua menghendaki anaknya bisa diterima di sekolah negeri sesuai dengan keinginan anak. Tidak salah pula jika orang tua memfokuskan kegiatannya agar keinginan tersebut terwujud. Maka berbagai cara ditempuh. Ada yang menitipkan anaknya kepada "aparat" partai politik, forum diskusi, ormas, termasuk ada pula yang langsung menitipkan kepada guru atau panitia Penerimaan Siswa Baru di sekolah yang dituju, serta ada yang menitipkan kepada jajaran diknas terkait.

Saya pernah menyaksikan debat capres cawapres sekira tiga kali. Penilaian saya pun (subjektif) mematok bahwa acara debat TIDAK MENARIK. Pertama, ia lebih suka jikalau capres cawapres menjawab pertanyaan panelis secara cepat, tanpa memperhatikan (menyimak) isi jawaban capres cawapres. Kedua, tidak ada kedalaman di balik pertanyaan serta jawaban capres cawapres. Ketiga, panelis dan presenter berebut ruang untuk bicara, seakan acara itu menjadi porsi mereka. Keempat, pemirsa di dalam studio sudah menentukan capres cawapres tertentu -- dan pemirsa di rumah tidak akan mengubah pilihannya setelah menyaksikan debat itu. Kelima, karena acara tidak menarik (bukan presentasi capres cawapres) maka pemirsa memindahkan chanel televisinya.

Saat ini mungkin hanya tim sukses capres cawapres yang masih giat mengotak-atik perkiraan angka perolehan Rabu 8 Juli mendatang. Selebihnya, banyak aktivis parpol hanya menunggu Hari H. Sementara masyarakat secara umum tampak lelah dengan kesibukan yang harus segera diselesaikan saat ini juga. Begitulah adanya, kita tidak begitu terlibat dengan ajang demokrasi lima tahunan untuk menentukan arah Republik Indonesia lima tahun ke depan. Bisa saja hal ini berlangsung karena kita belum lama melaksanakan pemilu legislatif 3 bulan ke belakang, lengkap dengan hiruk pikuknya, malah masih tersisa persoalan yang mengundang tanda tanya besar (baca: DPT).

Belum lagi bagi warga kebanyakan yang lebih suka berpikir sesaat, berpikir tentang pedaringan jomplang (tempat beras yang kosong), berpikir besarnya biaya pendidikan SMP dan SMA/ SMK, berpikir utang yang tidak selesai, berpikir mengenai kebutuhan sehari-hari. Jadi ruang untuk memikirkan nasib Indonesia lima tahun ke depan, sepertinya diserahkan kepada mereka yang mau saja.

"Bung, sudahlah menteri banyak. Gubernur, walikota, bupati banyak. Orang pintar banyak. Tidak perlu pikirkan negara. Pikirkan saja keluarga kita, makan apa hari ini?", gurau seorang kawan. Saya menjawab ringan, "Iya juga sih, tapi di kota ini juga banyak orang yang bertanya, makan di (restoran) mana hari ini?".

Bila perbincangan bertumpu pada makananan dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar, boleh jadi Pilpres 2009 menjadi tidak menarik. TPS bakal sepi. Dengan kata lain bakal cepat KPPS menghitung perolehan suara kandidat presiden 2009 - 2014 di TPS masing-masing. Saya tidak tahu, apakah suasana seperti ini menguntungkan proses demokrasi di Indonesia. Atau sebaliknya, kini tengah berlangsung parodi demokrasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar