Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon
KORUPSI, kata yang menakutkan bagi kalangan pengguna
keuangan. Kata itu pula mengundang rasa ketidaknyamanan manakala disematkan
kepada diri seseorang. Aktivis politik tiba-tiba
dikenai pasal korupsi, lalu publikasi meluas dan ia dihadapkan sebagai saksi,
tersangka, terdakwa di pengadilan. Sanksi hukum pun harus ia terima, meski
kerap merasa bahwa dirinya bukan koruptor, serta stigma koruptor padanya tak
lebih dari sebuah proses politik yang cukup panjang.
Siapa pun orangnya dan apa pun jabatannya ketika terjerat
kasus korupsi akan berkelit semampu mungkin untuk bisa lepas dari konsekuensi
hukum. Di samping tentu pula menyangkut nama baik yang tercoreng, runtuhnya kredibilitas dan
kepercayaan publik. Rasa malu akhirnya datang ketika secara hukum positif ia
ketahuan melakukan tindak korupsi. Yang paling berat ialah rasa malu kepada
lembaga atau institusi tempat mengabdi.
Jika korupsi melanda ke dunia pendidikan, apa yang diharapkan
kelak bagi lembaga penting sebagai pencetak generasi unggulan itu? Itu sebabnya
menyangkut IAIN Syekh Nurjati Cirebon, “kabinet” ke depan harus mempunyai
komitmen memberantas korupsi. Pelaporan semua aset kampus ke Kas Negara,
sebagaimana dilakukan Rektor IAIN SNJ, mungkin saja positif bagi pemberantasan
korupsi. Kepengurusan ke depan IAIN SNJ pun harus memiliki komitmen yang kuat
terhadap bidang akademik. Ini penting mengingat masih adanya suara-suara
negatif terhadap perilaku akademik beberapa dosen senior, bahkan guru besar.
Kampus harus terbebas dari politisasi yang diam-diam dilakukan oleh civitas academicanya sendiri.
Masa depan kampus negeri satu-satunya (hingga saat ini) di
Cirebon juga ditentukan oleh komitmen kerja yang unggul. Dalam arti seluruh
elemen yang terkait dalam aktivitas intelektual itu mampu memperlihatkan kerja
yang optimal sehingga mampu menaikkan gengsi kampus. Kerja unggul dengan hasil
kerja unggulan sangat mungkin bagi iklim kondusif peningkatan kualitas
pendidikan tinggi tersebut. Kerja unggul yang berangkat dari kepentingan
lembaga, tak urung mesti disertai dengan dedikasi, etos kerja, maupun
integritas intelektual para penghuninya ~di dalamnya termuat etika intelektual.
Korupsi yang melanda aktivitis politik boleh dikata hal
biasa lantaran sejak diundangkannya pemberantasan korupsi, negara yang bersih
dari tindakan korupsi-kolusi-nepostisme (KKN), didirikannya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), negeri kita memasuki fase cukup bagus dalam hal
“pengamanan” keuangan negara. Sebaliknya korupsi yang menerpa dunia pendidikan
merupakan sebuah kegagalan teramat besar sehingga tidak saja melahirkan
ketidakpercayaan masyarakat. Korupsi pada dunia pendidikan harus segera
diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh, dan terhindar dari pepatah: Buruk Muka Cermin Dibelah.
Jargon KPK yang popular, “Kalau Bersih Kenapa Risih”,
menitipkan pesan moral yang kuat. Betapa pun hantaman pihak dalam dan luar yang
dialamatkan kepada setiap orang yang ditengarai melakukan tindak korupsi, agar
tidak merasa risih. Kelak peradilan lah yang membuktikan apakah ia memang
seorang koruptor atau pihak yang terkena hasutan sampai diproses sebagaimana
layaknya. Koruptor atau bukan sangat tergantung pada keputusan pengadilan.
Dengan demikian kampus harus bersih supaya tidak risih.
Bersih dari carut marut yang memungkinkan munculnya pertikaian internal. Bersih
yang lain ialah bersih dari tindakan koruptif yang memicu kuatnya pertikaian
sampai melupakan tugas utamanya, yakni mendidik generasi muda supaya memiliki pemahaman
yang terintegrasi dengan Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yakni pertama Pendidikan, kedua Penelitian dan
Pengembangan, ketiga Pengabdian Masyarakat.
Perguruan
tinggi juga dapat mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis
pada keilmuan dan sumberdaya lokal dalam kerangka sistem nilai budaya bangsa,
membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan dengan
kebutuhan masyarakat dalam rangka merespon perubahan global yang sangat
dinamis, mengembangkan pusat-pusat pengembangan masyarakat dengan memanfaatkan
sumberdaya dan nilai-nilai lokal yang ada, membantu pengembangan kebijakan
strategis terhadap legislatif dan eksekutif serta mengontrol implementasi
kebijakan-kebijakan tersebut. Perguruan tinggi juga dapat berperan dalam mengembangkan
strategi kebudayaan, hal tersebut sangat diperlukan dalam membangun peradaban
bangsa, terutama untuk membangun nilai-nilai yang sejalan dengan kemajemukan
bangsa agar keberagaman diterima sebagai sebuah kekayaan dan tidak dipertentangkan.
Pembangunan peradaban itu sendiri perlu berbasis pada nilai etika dan nilai
budaya yang sudah melekat dalam jari diri bangsa.
Apa
yang bakal terjadi apabila kampus sibuk dengan masalah internal yang tidak
produktif. Dan dapatkah Tri Dharma Perguruan Tinggi terwujud seandainya rektor,
pembantu rektor, dekan, dosen senior, guru besar, petugas administrasi kampus
terus bertikai melakukan pembenaran atas apa yang telah dilakukannya selama ia
menjalankan tugas intelektualnya? Pembenaran yang bertolak belakang dengan
kerja unggul demi menciptakan perguruan tinggi yang unggul serta menjadi contoh
perguruan tinggi di sekitarnya. Sebagai satu-satunya PTN di wilayah Cirebon,
seharusnya IAIN SNJ memberikan teladan yang baik dalam hal pengelolaan kampus.
Sengkurat
kasus yang menimpa lembaga pendidikan tinggi negeri di wilayah Cirebon semoga
menjadikan kita kian bijak bahwa membangun kekuatan lembaga dengan segenap daya
dukung yang dimiliki akademisinya adalah jauh lebih penting daripada membangun
diri atas nama lembaga. Membangun diri hanya berdampak pada diri sendiri dan
orang terdekat yang mengitarinya, sementara membangun lembaga akan berdampak
langsung bagi seluruh civitas academica
yang tergabung di dalam lembaga itu.
Satu
hal yang mesti diingat pula ialah pentingnya menjaga wibawa kampus. Kewibawaan
yang antara lain ditunjukan oleh keinganan kuat menyelesaikan masalah internal
tanpa melibatkan pihak eksternal. Artinya semakin sering pembahasan buruk
menyoal kampus melalui publikasi media cetak elektronik, pada satu sisi
menampilkan wajah buram yang buruk rupa. Sisi buruk itu terjadi mengikuti
pepatah lama yang telah dianjarkan para orang tua kita, menepuk air di dulang terpecik muka sendiri. Dengan perkataan lain,
insan pendidikan yang memiliki niat kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
marilah beranjak dari diri sendiri untuk menyelesaikan segala permasalahan
internal dengan menepis dendam dan kesumat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar