Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon
PEMBAHASAN sejarah
senantiasa multitafsir. Termasuk ketika membicarakan ketokohan seseorang dalam
sejarah, beragam tafsir meruyak. Menyangkut ketokohan tersebut yang sangat
mungkin dinobatkan sebagai pahlawan ~karena terbukti perannya dalam peperangan
nasional~ tidak sedikit dari pahlawan itu yang tidak ingin menampilkan jati
dirinya. Sangat mungkin ada banyak
pelaku sejarah yang tak sempat terdokumentasi dengan jelas. Ada pula yang
dengan sengaja menyembunyikan identitas dirinya untuk tujuan - tujuan yang
lebih penting daripada sebuah ketenaran atau publisitas, demi kelangsungan
hidup keturunannya. Bagi mereka memperjuangkan kemerdekaan jauh lebih penting
dan bersahaja daripada menerima berbagai fasilitas negara, baik untuk dirinya
maupun anak keturunannya. Kepada pahlawan misterius yang telah merelakan
dirinya (dalam kata-kata Bung Karno: dibakar oleh api revolusi) hilang di
tengah perjuangan bangsa, tulisan pendek ini disajikan.
Kesejatian pahlawan
misterius itulah yang seharusnya menjadi teladan anak bangsa saat ini. Ketika
nasionalisme memudar, dan ketika eksistensi personal menjadi ciri peradaban
kiwari, kesejatian menjadi sangat langka. Berperang melawan musuh tidak untuk
dicatat sejarah, bersedekah tanpa riya
(berharap pujian), iklas membantu tanpa pretensi, berorganisasi tanpa berharap
perolehan pemenuhan finansial dan keuangan, melaksanakan hubungan kemanusiaan
dengan niat memanusiakan manusia, atau berinteraksi sosial tanpa maksud
memungut kelebihan uang rakyat (APBD/ APBN).
Beberapa hal tadi kian menjauh dan sangat kontras apabila membaca kisah
Suprijadi, yang tercatat dalam sejarah Pemberontakan Tanah Air (PETA) di
Blitar, pada bulan Februari 1945.
Siapakah sosok Suprijadi
itu? Dari Wikipedia diperoleh data: Fransiskus Xaverius Suprijadi (lahir
di Trenggalek, Jawa Timur,
13 April
1923 – meninggal tahun
2000 adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin
pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan
pendudukan Jepang
di Blitar
pada Februari 1945.
Ia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi digantikan oleh
Jendral
Sudirman pada 20 Oktober 1945 karena Suprijadi tidak pernah
muncul. Selepas masa perjuangan kemerdekaan RI, beliau pernah mendampingi
Presiden RI Soekarno sebagai pembantu (asisten) bersama dengan rekan
seperjuangannya A.H Nasution pada waktu itu. Sekali berdinas di Departemen
Pertanian di Jakarta menjabat Kepala Bagian Kepegawaian hingga memasuki usia
pensiun.
Suprijadi mengikuti pendidikan peta dan sesudah itu
diangkat menjadi Shodanco di Blitar. Ia sering bertugas mengawasi para romusha (kerja paksa di zaman Jepang)
membuat benteng-benteng pertahanan dipantai selatan.Ia menyaksikan bagaimana
sengsaranya para romusha. Makanan kurang dan kesehatan tidak terjamin. Banyak
diantaranya yang meninggal dunia karena sakit, termasuk siksaan fisik. Suprijadi tidak tahan melihat keadaan
itu.Dengan beberapa orang temanya, ia merencanakan pemberontakan melawan
tentara Jepang. Walaupun menyadari bahwa waktu itu Jepang sangat kuat, namun ia
tetap berniat untuk melakukan perlawanan.
Pemberontakan dilancarkan dini hari tanggal 14
Februari 1945, di Daidan, Blitar, Jawa Timur. Jepang sangat terkejut mendengar
perlawanan tersebut. Mereka mengerahkan kekuatan yang besar untuk menangkap
anggota-anggota pasukan Peta Blitar. Selain itu,dilakukan pula siasat membujuk
beberapa tokoh pemberontak. Karena kurang pengalaman dan kekuatan tidak
seimbang pemberontakan itu ditindas Jepang.Tokoh-tokoh pemberontak yang
tertangkap, diadili di mahkamah militer Jepang.Ada yang dihukum mati dan ada
pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut diadili, bahkan namanya tidak
disebutkan dalam sidang pengadilan. Suprijadi dinyatakan hilang dan tidak
pernah hadir dalam sidang pengadilan.
Supriyadi terus menjadi target teror agen-agen tentara sekutu (NICA)
sehingga sering bersembunyi di kaki bukit di kota kelahirannya, Trenggalek,
Jawa Timur.
Pada waktu
itu, Supriyadi memimpin sebuah pasukan tentara bentukan Jepang yang
beranggotakan orang orang Indonesia. Karena kesewenangan dan diskriminasi
tentara Jepang terhadap tentara PETA dan rakyat Indonesia, Supriyadi gundah. Ia
lantas memberontak bersama sejumlah rekannya sesama tentara PETA. Namun
pemberontakannya tidak sukses. Pasukan pimpinan Supriyadi dikalahkan oleh
pasukan bentukan Jepang lainnya, yang disebut Heiho.
Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya. Oleh karena itu, meski telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah, keberadaan Supriyadi tetap misterius hingga kini. Sejarah yang ditulis pada buku-buku pelajaran sekolah pun menyebut Suprijadi hilang.
Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya. Oleh karena itu, meski telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah, keberadaan Supriyadi tetap misterius hingga kini. Sejarah yang ditulis pada buku-buku pelajaran sekolah pun menyebut Suprijadi hilang.
Dari Wikipedia diperoleh seperti ini: Selepas
masa perjuangan kemerdekaan RI, beliau pernah mendampingi Presiden RI Soekarno
sebagai pembantu (asisten) bersama dengan rekan seperjuangannya A.H Nasution
pada waktu itu. Sekali berdinas di Departemen Pertanian di Jakarta menjabat
Kepala Bagian Kepegawaian hingga memasuki usia pension ~sangat kontradiktif
dengan keterangan di buku pelajaran sekolah yang menyatakan Suprijadi hilang/
menghilang. Akan tetapi tulisan pendek ini tidak bermaksud mengungkap kebenaran
sejarah. Biarlah itu menjadi konsumsi sejarawan yang pakar dan mengetahui detil
peristiwa PETA Februari 1945. Tulisan ini dipersembahkan bagi pengukuhan
kembali nasionalisme Indonesia. Bagi bangsa besar yang tetap bertahan sekalipun
mengalami banyak kegagalan lantaran banyak pihak yang menghendaki kehancuran
bangsa dan negeri ini.
Berpuluh tahun kemudian sosok
pelaku utama sejarah PETA ini terangkat
dalam beberapa topik dan perdebatan yang tak kunjung selesai, ada saksi yang
mengatakan mengetahui siapa sebenarnya manusia misterius ini, ada yang datang
mengklaim sebagai “Sang Misterius"
ini dengan beberapa bukti, namun tetap saja sosok - sosok asli ini tidak benar-benar
diketahui jati diri sebenarnya. Hanya klaim dari beberapa orang dengan sumber
cerita menurut versi masing – masing.
Namun yang
membikin sosok Supriyadi semakin misterius adalah banyaknya kemunculan
orang-orang yang mengaku sebagai Supriyadi. Salah satu yang cukup kontroversial
adalah sebuah acara pembahasan buku ‘Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu
Utama Bung Karno’, yang diadakan di Semarang tahun 2010 lalu. Dalam acara itu,
seorang pria sepuh bernama Andaryoko Wisnu Prabu membuka jati diri dia
sesungguhnya. Dia mengaku sebagai Supriyadi, dan kini berusia 89 tahun. Sampai
sekarang pengakuan tersebut belum bisa dibuktikan kebenarannya, meski secara
perawakan dan sejumlah saksi membenarkan klaim tersebut.
Kisah inspiratif seorang Suprijadi adalah kerelaan
beliau untuk tidak tampil mengambil jabatan Menteri Kemanan Rakyat pada kabinet
pertama. Jabatan yang bisa mengantarkannya mencapai puncak karier militer
Angkatan Darat. Berbagai asumsi yang berkembang saat itu ~menyoal
ketidakmunculan Suprijadi~ boleh jadi berangkat dari status sang pahlawan
kelahiran Trenggalek itu sebagai target operasi intelejen pasukan Jepang.
Memilih bersembunyi di kaki bukit, mungkin menjadi petani dan berumah tangga
sebagaimana masyarakat sekitarnya ~menuangkan pesan moral betapa tidak semata-mata
jabatan yang dikejar sebagai hubungan sebab akibat sebuah perbuatan. Sebaliknya
ia mengajarkan pentingnya berjuang melawan kesewenang-wenangan para penindas
rakyat.
Dengan kata lain seluruh
tindakan dan perbuatan kita sebaiknyalah dialokasikan, meminjam ujaran Pramudya
Ananta Toer: Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang
lain.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar