Rabu, 16 Mei 2012

Ironi Lenin dan Kebangkitan Jerman

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis Lepas, tinggal di Cirebon


PESAN pendek dari teman penggagas Liga Pers Mahasiswa (LPM) Setara Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon, pada sebuah sore awal Mei tahun ini ke telepon seluler saya memastikan bahwa saya akan hadir nonton film Goodbye Lenin yang diteruskan dengan diskusi film tersebut. Pemutaran film menggunakan infocus dengan layar putih spanduk bekas kegiatan mahasiswa itu diadakan di aula Unswagati. Tidak banyak yang nonton dengan intens, sebagian malah asik memainkan hp, mungkin sms atau main facebook.

Setelah menyaksikan film Goodbye Lenin,film tragedi Jerman yang dirilis tahun 2003. Film yang disutradarai oleh Woflgang Becker ini dapat dilihat sebagai suatu gerakan rindu akan Jerman Timur (ostalgie). Film ini merupakan film perdana pada Festifal Film Internasional Jakarta 2004. Berbagai perspektif dihadirkan oleh sutradara dan penulis skenario dengan baik. Betapa seorang ibu Christiane Kemer yang diperankan Katrin Sab menampilkan sosok yang kuat. Kuat secara ideologi, kuat memeluk keutuhan keluarga/ rumah tangga, dan tergolong konservatif sebagai penganut sosialisme Jerman Timur.

Film berdurasi 122 menit ini cukup melelahkan tapi tergolong asik ditonton. Betapa tidak. Berlatar suasana pra reunifikasi Jerman, tergambar “ketertinggalan” bagian Timur dari saudaranya di Barat. Akan tetapi jangan ditanya bagaimana kekuatan ideologi sosialis dan komunis di Jerman Timur, termasuk kekuatan represif polisi negara menghalau demonstran. Hanya karena seratusan pemuda berdemo di jalanan dengan meneriakkan, “kebebasan pers”, mereka diperlakukan tidak manusiawi. Ditendang, diinjak sepatu laras, lalu diangkat ke truk polisi dan akhirnya masuk penjara tanpa proses peradilan. Dari sini film berawal, Cristian Kemer di depan matanya sendiri menyaksikan anak lelakinya Alexander Kemer yang diperankan Daniel Bruhl dianiaya polisi negara hingga akhirnya di penjarakan. Di pelataran aksi itu Alex berkenalan dengan perawat sebuah rumah sakit yang bernama Lara (diperankan Chulpan Khamatova).

Dari sini film berawal. Dari konflik dimulai. Melihat anak lelakinya diperlakukan kasar oleh polisi negara, Christiane mendadak pingsan karena mengidap penyakit jantung koroner, lantas dirawat di rumah sakit. Sepanjang 8 (delapan) bulan ia mengalami koma. Oktober 1989, Christiane baru siuman dan minta pulang ke rumahnya. Di rumah ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berbaring di tempat tidur dan berkomunikasi dengan Alex yang sudah menikah dengan Lara. Alex sebagai anak tetap menghormati ibunya meski sang ibu terkena amnesia.

Perlahan-lahan ingatan dan kenangan Christiane terbuka. Hingga pada ulang tahunnya, Alex mengundang keluarga dan tetangga. Dihibur paduan suara anak-anak. Anak-anak menyanyikan lagu cinta lingkungan : “Rumahku adalah hutan, angin, ikan di kolam, rumahku adalah sungai”. Lagu yang bertema cinta lingkungan dan keasrian bumi.
Di penggal akhir Goodbye Lenin kamera dengan indah menayangkan jasad Christiane yang dibakar dan diterbangkan abunya ke empat penjuru angin melalui pelepasan roket buatan di atas atap gedung tinggi. Keluarganya menyaksikan dan berkata, “Apakah dia melihat kita di bawah?”.

Goodbye Lenin, sebuah kata pedih yang ditujukan kepada Lenin ~pemikir, penggagas, sang ideolog besar yang membentuk Rusia~ terpampang jelas manakala patung Lenin yang dirobohkan massa diangkut helikopter. Kepala dan badan patung Lenin seukuran dada itu terselematkan. Bagian patung yang diangkut helikopter itu terlihat Christiane tak lama seusai ia bisa berjalan dan ingatannya pulih. Goodbye Lenin hampir sama dan sebangun dengan lagu Don`t Cry for Me, Argentina ketika kesebelasan Argentina kalah di final piala dunia oleh Brazil di tahun 1994. Tangis Diego Armando Maradona di lapangan hijau diiringi lagu pedih Don`t Cry for Me, Argentina.

Woflgang Becker, sutradara film ini cukup jeli juga dengan memotret suasana kemenangan kesebelasan sepak bola Jerman Barat di semi final dengan mengalahkan Inggris lewat adu penalti. Wajah kaisar sepak bola Franz Beckenbouer, Rudy Foller, Jurgen Klinsman saat beraksi tidak hanya memberi hiburan warga Jerman Timur. Di balik itu spirit dan kekuatan bahwa bersatu dengan Jerman Barat merupakan keniscayaan karena didukung oleh prestasi internasional. Dan suasana bertambah meriah manakala di final Jerman Barat mengalahkan Belanda lantas berhasil memboyong piala Jules Rimet

ke negaranya. Kian terbukalah konsep reunifikasi. Dan kian terbuka pula mata dunia tentang kebangkitan Jerman yang dikhawatirkan bangkinya Neo Nazi.

Sosialis Demokrat

Lenin sebagaimana kita tahu namanya hingga kini dipahatkan sebagai nama kota Leningrad di Rusia. Kota sibuk, kota satelit sekaligus kota industri yang memungkinkan berlangsungnya transit berbagai komoditas penting ~termasuk uranium (bahan pembuat nuklir, terutama U-23) yang diangkut dari Pegunungan Kaukasus. Kebesaran Lenin pun diabadikan dalam bentuk patung besar di tengah kota Leningrad, sebagai penghormatan atas ide-ide besarnya dan pengingat bahwa dia lah seorang peletak dasar negara komunis itu. Namun reunifikasi mengoyak kehidupan Berlin, dan kota lainnya di Jerman Timur.

Kemudian berlangsung kejutan budaya dengan masuknya junk food, minuman kaleng, manisan dari Barat. Pesta di diskotik kaum muda dengan kebebasan bergaulnya (mirip suasana awal RRC setelah membuka diri tahun 1980-an). Anak-anak muda Jerman Timur pun menarikan tari perut untuk mengetahui kesenian Oriental. Perubahan nilai mata uang, yang membuat warga eks Jerman Timur yang memiliki deposit di bank kaya mendadak, dan terjadi perubahan gaya hidup. Di film itu pun digambarkan bagaimana Christiane terpana melihat lampu berwarna pink berbentuk bola cukup besar dan memendarkan warna-warni cahaya. Artinya ada keterkejutan budaya bagi warga Jerman Timur menjelang setelah dirobohkannya tembok Berlin. Amuk massa terhadap tembok pembatas dan pemisah itu menjadi inspirasi lagu Wind of Changes grup band Scorpion asal Inggris. Bahkan banyak pematung yang sengaja datang ke tembok Berlin untuk memungut sebagian reruntuhannya guna diadaptasikan dalam karya seninya.

Di sisi lain reunifikasi Jerman merupakan beban berat bagi Jermat Barat. Dana pembangunan banyak dialokasikan ke wilayah eks Timur agar tidak tertinggal dan setara dengan negara lain. Dalam waktu sekejap konselor Jerman Helmut Kohl sukses memajukan eks wilayah Timur dan terus hingga menggulirkan ide mata uang Euro. Reunifikasi Jerman seakan menjadi pemicu awal “penyatuan” Eropa dengan berbagai kemudahan yang diperoleh warga. Bepergian antar negara Eropa tidak perlu visa dan exit permit lagi, tidak perlu banyak berurusan dengan pihak imigrasi.

Jerman dengan paham sosialis demokratnya kini merupakan negara paling sejahtera. Test chase yang dilakukan pada awal reunifikasi pun berlanjut hingga kini. Pertanyaannya adalah, mungkinkah sosialisme demokrat ala Jerman (yang disebut Jalan Tengah) diadaptasi di negara kita? Kedua, berbekal nasionalisme Indonesia yang memuat unsur sosialisme demokrat ~selatyaknya kita bisa lebih maju daripada Jerman. Dengan kata lain kesejahteraan rakyat menjadi tolok ukur keberhasilan memanage negara.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar