Kamis, 09 Februari 2012

Pilkada Bukan Pil KB

Oleh Dadang Kusnandar
penulis lepas, tinggal di Cirebon

MEMBACA koran di Kota Cirebon belakangan ini sepertinya kita disuguhkan pada pentingnya pemilihan kepala daerah yang akan digelar Februari tahun depan. Pembaca seakan digiring kepada persepsi tunggal bahwa perubahan di kota ini hanya dapat berlangsung dengan pergantian kepala daerah.Maka berbagai cara dilaukukan pengasuh koran untuk meyakinkan pembaca bahwa beberapa bakal calon kepala daerah yang hendak manggung di kota tercinta ini memang layak dengan berbagai kualifikasinya. Poling, pemberitaan bersambung, komentar sejumlah pendukung bakal calon, dan sebagainya menjadi sajian yang terus didesakkan kepada pembaca.

Reaksi pun beragam. Bagi para pendukung dan keluarga besar sang bakal calon, tentu saja setiap publikasi menyangkut pilkada akan disimak dengan jeli dan penuh perhitungan. Bagi masyarakat yang sempat kebagian rejeki lantaran diberi sejumlah uang tatkala menyerahkan salinan Kartu Tanda Penduduk kepada tim sukses seorang bakal calon, pemberitaan hanya dilihat sekadarnya. Namun bagi kebanyakan warga, pemberitaan mengenai pilkada 2013 di Kota Cirebon belum dianggap sebagai sesuatu yang dahsyat. Belum dianggap sebagai satu-satunya ukuran tunggal berlangsungnya perubahan di Kota Cirebon. Meski belum ada survey secara akurat menyoal ini akan tetapi di kalangan tertentu pilkada 2013 hanya merupakan sebuah pengulangan peristiwa politik. Pengulangan yang juga terjadi di kota/ kabupaten lain dalam kurun masa lima tahun.
Persoalannya kemudian bagaimana upaya meyakinkan publik bahwa pilkada tidak sekadar kegiatan politik lima tahunan sebagaimana pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan gubernur? Lantas benarkah perubahan secara signifikan dapat dilakukan dengan proses politik yang bernama pilkada itu?

Beberapa saat lalu saya sempat berkirim pesan pendek (kadang menjadi pesan panjang) dengan seseorang yang hendak ikut berspekulasi dalam pilkada Kota Cirebon 2013. Katanya ia mampu melakukan perubahan bila terpilih, maka pilihlah dia. Katanya ia akan membenahi segala sektor kehidupan yang masih terasa kurang memihak hajat hidup orang banyak, dan untuk melakukan perubahan itu maka pilihlah dia. Ia pun mencontohkan pengambilan aliaran listrik dari dana Penerangan Jalan Umum (PJU) ke papan reklame dan billboard iklan di sepanjang jalan kota. Ia juga mengingatkan seharusnya masyarakat mengkritisi hal itu karena itu berarti masyarakat yang membayar dana PJU sebesar 5% dari rekening listrik bulanan juga membiayai aliran listrik ke papan reklame pengusaha. Ia tak lupa mengingatkan perlunya mengantisipasi merebaknya praktek korupsi yang terjadi di kalangan birokrasi. Dan seterusnya, saya lupa karena pesan pendek itu telah terhapus.

Berbalas pesan pendek dengannya sepertinya memberikan harapan. Berbalas pesan pendek dengannya sepertinya meminggirkan bakal calon yang lain. Namun demikian berbalas pesan pendek dengannya kian lama terjebak dalam wacana sebagaimana ketika berbincang politik dan sebagainya dengan teman-teman. Alhasil, bakal calon kepala daerah ~siapa pun dia, dari mana pun asalnya~ akan mengambil ancang-ancang serta berusaha tampil secantik mungkin. Terlebih ketika menulis pesan melalui telepon seluler karena ada jejaknya. Tanpa sengaja saya juga berkirim pesan pendek kepada aktivis partai politik yang kini menjabat sebagai anggota legislatif di kota ini. Ia menyinggung soal calon independen. Tapi saya tidak yakin calon dari jalur independen akan memenangkan pertarungan pilkada 2013. Partai politik masih kuat di kota kecil ini, dan penggiat parpol seperti kesetanan menyambut event politik lima tahunan ini.

Saya bahkan mempertanyakan kepada anggota legislatif itu, apakah perebutan bakal calon dari kalangan partai politik hanya akan dimenangkan oleh ketua partai? Bila demikian adanya lalu buat apa partai politik membuka pendaftaran bakal calon kepala daerah? Menurut saya telah terjadi kebohongan publik, sekaligus demokrasi semu. Jika memang hanya ketua partai politik yang akan memperoleh restu pimpinan partai di tingkat lebih atas, buat apa partai memberi ruang dan peluang kepada orang selain ketua partai?

KEMBALI ke soal awal, pemilihan kepala daerah 2013 yang terus dibincangkan koran sebaiknyalah disikapi dengan cara biasa saja. Tidak usah terlalu berharap mampu melangsungkan perubahan yang signifikan bagi kemajuan kota. Bukankah saat kampanye pilkada tahun 2008 lalu di Kota Cirebon, lima pasangan bakal calon yang maju semuanya mengatakan lewat berbagai media bahwa ia mampu melakukan perubahan secara cepat dan simultan. Tapi apa faktanya? Setelah terpilih pemenang pilkada 2008, Kota Cirebon tidak mengalami perubahan apa pun.

Celakanya kota ini bagai stagnan. Hampir tidak ada perubahan berarti bagi kesejahteraan ekonomi warga di wilayah seluas 37 km2 ini. Bahkan kerap terjadi kelambanan mengatasi persoalan yang muncul seketika. Misalnya ketika terjadi banjir lantaran hujan yang mengguyur deras kota ini pada Kamis 2 Februari 2012 yang baru lalu. Boleh dikata, tidak ada pejabat pemerintah yang segera melakukan antisipasi supaya banjir tidak terus merugikan warga.

Celakanya lagi, puluhan orang yang tergiur bertarung pada pemilihan kepala daerah Kota Cirebon 2013 tidak seorang pun yang segera bertindak memberi bantuan kepada korban. Meskipun banjir di kota ini tergolong cepat surut namun tetap saja mengagetkan dan merugikan warga. Banjir yang baru lalu itu memusingkan banyak warga kota di malam hari lantaran air masuk ke dalam rumah setinggi 10 – 20 cm. Kegiatan Jum`at pagi 3 Februari 2012 pun tidak jauh dari bersih-bersih rumah sendiri dan mengeluarkan air dari dalam rumah.

Seharusnya banjir seketika itu tidak perlu terjadi apabila penanganan saluran irigasi dan saluran pembuangan limbah dikerjakan secara profesional dan tepat guna. Perbaikan saluran air yang banyak terlihat akhir Desember 2011 lalu di berbagai ruas kota ini terbukti belum berhasil mengusir desakan air nan progresif ke rumah-rumah warga kota.
Dengan demikian, benarkah perubahan di Kota Cirebon akan terjadi melalui event politik lima tahunan yang bernama pilkada itu? Dan benarkah calon terpilih tahun depan itu mampu merepresentasikan janji serta gagasannya ke dalam realitas? Jika tidak, masih percayakah Anda bahwa perubahan di Kota Cirebon terjadi lantaran terpilihnya kepala daerah baru?

Pilkada bukan Pil KB, bukan pil atau tablet Keluarga Berencana karena pilkada justru melahirkan keturunannya berupa kebijakan publik yang harus mengedepankan kepentingan rakyat sementara Pil KB menghambat kelahiran.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar