Kamis, 12 Mei 2011

Memahat Kata di Kedai Kopi

INGAT kedai kopi, ingat permainan catur. Secangkir kopi panas memaku bokong pemain catur di kursi kayu yang tersedia. Ditambah kepulan asap rokok dan iringan musik, permainan catur di kedai kopi semakin asik. Begitulah kelaziman sebuah kedai kopi. Kedai kopi bisa juga dijadikan tempat lalu lalang informasi.

Bangku kayu panjang warna merah, lampu temaram dibungkus kertas lampion warna merah kuning, kanopi transparan, pohon bambu dalam pot yang enggan tumbuh dan panggung kecil jadi asesorisnya. Inilah kedai kopi A Thousand One Coffe Shop di Jalan Kalibaru Selatan Kota Cirebon yang memfasilitasi ekspresi kesenian. Seniman menampilkan karyanya di sini. Puisi, cerita sendek, musik, seni kriya, juga diskusi. Tak salah jika pengelola Kedai 1001 Kopi itu kerap menyebut istilah kopi sastra.

Hampir setahun di tempat ini diadakan kopi sastra. Berawal dari pertemanan jejaring sosial facebook, sekumpulan seniman di Jawa pernah hadir di kedai ini. Inilah kekuatan karya, inilah kekuatan sastra yang menyegerakan lahirnya karya-karya kreatif.

Tak berlebihan kiranya jika kopi sastra mengadakan kegiatan peluncuran buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen. Kumpulan puisi karya Nana Sastrawan (Tangerang), Nandang Darana (Majalengka), Arieyoko (Bojonegoro) disimak dan dibacakan di kopi sastra.

Demikian juga kumpulan cerita pendek Matahari Retak di Atas Cimanuk yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Indramayu. Pembacaan puisi karya D Jawawi Imron (Madura). Terakhir, kumpulan puisi Merapi Gugat antologi puisi etnik 13 (tiga belas) penyair.

Memacu Kreativitas
Kesediaan penyair dan sastrawan Ahmad Syubbanuddin Alwy memandu diskusi dan atau sebagai pembahas semakin menghangatkan suasana. Bahkan terjadi perdebatan sastra yang menggairahkan. Kegelisahan Alwy memandang sastra dalam teks politik dan kekuasaan, tak urung menjadikan suasana diskusi kopi sastra masuk ke persoalan aktual. Sastra sebagai jalan sunyi memang harus ditekuni karena pada saatnya kelak akan ada penghargaan masyarakat. “Kami mengapresiasi apa yang dirintis kedai kopi ini”, tutur Alwy.

Tidak tahu persis apa keuntungan finansial yang diperoleh pengelola kedai itu. Namun setidaknya sekali sebulan di tempat ini kata-kata dipahat. Untuk menyegarkan, teater dan musik juga dihadirkan. Salah satunya pernah hadir dari Komunitas Teater Nusantara (dari Jakarta) dan Teater Akar Randu Alas (Kalikoa Cirebon).

Berbagai upaya agar tumbuh kecintaan kepada sastra terus dilakukan pengelola Kedai 1001, Nunung Susanti (juga berstatus penyair) dan suaminya Arieffianto yang sudah 14 tahun berkutat di pemasaran produk rokok. “Saya ingin kreativitas Cirebon lahir dari kedai ini. Kedai ini menjadi perangsang tumbuhnya kreativitas seniman Cirebon dan sekitarnya,” ujar Nunung. Pegiat kopi sastra yang tak dapat diabaikan perannya adalah seorang ibu pengelola handycraft dan penyair Ratu Ayu Neni Saputra. Ia selalu hadir dan memberi kontribusi bagi kelangsungan memahat kata di kedai kopi 1001. Upaya itu antara mengundang komunitas sastra di lingkungan pelajar dan mahasiswa Cirebon, komunitas fotografer dari Cirebon dan Indramayu, wartawan media cetak dan elektronik. ***(dakus)


tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat Edisi Cirebon, Rabu 27 April 2011 halaman C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar