Oleh Dadang Kusnandar
PELABUHAN laut sejak ratusan tahun lampau menjadi pintu masuk utama produk fisik dan nonfisik. Sebaran ideologi dan agama, maupun ekonomi ditempuh melalui laut. Dan pelabuhan akhirnya menjadi sandaran serta persinggahan untuk seterusnya berlangsung transaksi. Di tempat sunyi pendaratan kapal di pelabuhan/ pantai relatif semuanya menjadi sentrum perubahan. Ini bisa kita taut kembali kepada kisah temuan dunia baru yang dilakukan pelaut ulung Portugis dan Spanyol yang sukses mendarat di Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Nama-nama mereka pun diterakan di tanah pendaratan itu. Misalnya Americo Vespuci yang kabarnya "menemukan" benua Amerika.
Sebelum Zeplin sukses menemukan teori balon gas lantas berlanjut dengan temuan mesin pesawat terbang, kapal dan pelabuhan merupakan pintu masuk utama peradaban dan sejarah penaklukkan. Tak disangkal memang temuan tanah baru itu melanggengkan penghisapan kepada penduduk setempat. Dan pelabuhan menjadi demikian riuh oleh aktivitas, baik ekonomi maupun perlwanan/ peperangan/ penyerbuan, atau diplomasi antarnegara/ kerajaan. Cirebon sebagai satu-satunya kota di Jawa Barat yang memiliki pelabuhan hingga tahun 2013 ini masih belum menampakkan aktivitas yang berdampak secara langsung ke aktivitas ekonomi.
Dibanding 15 – 20 tahun lalu,
pelabuhan Muara Jati Cirebon mengalami penurunan aktivitas ekonomi. Berkali
dalam obrolan dengan sopir angkot saya menjumpai betapa ia lebih nyaman
manakala menjadi sopir truk bongkar muat barang di pelabuhan Cirebon. Begitu
pula saat berbincang dengan kuli bongkar muat di Jalan Pekalipan. Beberapa di
antara mereka pernah menjalani profesi tersebut dan memperoleh berkah dari
aktivitas ekonomi di pelabuhan. Belum termasuk pedagang makanan minuman dan
sebagainya yang berinteraksi dan bertransaksi di pelabuhan yang pernah
disinggahi armada besar Laksmana Cheng Ho.
Akan tetapi aktivitas ekonomi di
pelabuhan Cirebon bila diukur 5 (lima) tahun ke belakang mengalami
kemajuan cukup bagus. Beberapa komoditi tetap menggunakan jasa pelabuhan
Cirebon. Sebut saja batu bara, minyak sawit (CPO), minyak goreng curah, pupuk,
dan aspal. Meskipun bongkar muat kayu kini sunyi dan beralih ke pelabuhan
Semarang, namun apabila cuaca bagus maka aktivitas bongkar muat batu bara
menepis “idiom” pelabuhan sunyi. Berdasar penuturan Agus Purwanto, Ketua DPC
Indonesian Nation Shipowner Asociation (INSA) Cirebon, “Kondisi
pelabuhan Cirebon sekarang bagus. Regulasi dan administrasi di pelabuhan
berjalan kondusif dan sesuai aturan”.
Fenomena menurunnya aktivitas
ekonomi di pelabuhan Cirebon boleh jadi lantaran makin bertambahnya pelabuhan
kargo di Jakarta. Dibangunnya pelabuhan Muara Karang, Marunda, Muara Angke,
Kalibaru pada satu sisi semakin memperlemah aktivitas pelabuhan Cirebon. Akan
tetapi dalam pandangan Agus Purwanto, “Justru hal ini menjadi peluang bagi
kepala daerah Jawa Barat yang akan datang untuk melakukan kerjasama dengan
Gubernur DKI Jaya. Misalnya melalui nota kesepakatan untuk membuka semua jalur
kargo propinsi Jawa Barat melalui pelabuhan Cirebon. Kalau kesepakatan ini
berlangsung dapat mengurangi kemacetan lalu lintas Jakarta, selain untuk
menumbuhkan aktivitas ekonomi di pelabuhan Cirebon".
Yang tak kalah penting ialah
pengerukan darmaga (alur laut) di pelabuhan Cirebon. Bila dilakukan pengerukan
maka kapal dengan bobot lebih besar dapat keluar masuk sehingga menumbuhkan
kegiatan ekonomi. Keluar masuknya kapal kargo dari dan ke pelabuhan Cirebon
merupakan mata rantai penting bagi terselenggaranya kembali aktivitas
yang membawa efek bangkitnya kembali perekonomian masyarakat di pelabuhan
Cirebon. Dengan demikian peluang masuknya investasi ke pelabuhan Cirebon pun
semakin terbuka.
Secara geografis, Pelabuhan Cirebon
terletak di kota Cirebon, di pantai Utara Jawa Barat, kurang lebih 250 km dari
arah Timur Jakarta. Posisi Geografis terletak pada koordinat: 06° 42’ 55,6″
Lintang Selatan; 108° 34’ 13,89″ Bujur Timur, dapat dicapai dengan mudah
melalui jalan darat, baik dari arah Jakarta, Propinsi Jawa Tengah maupun dari
kota Bandung. Kemudahan ini mendukung kelancaran distribusi barang dari dan ke
Pelabuhan Cirebon. Pelabuhan Cirebon didukung oleh kedalaman kolam -7 m LWS.
Sedangkan kapal yang memiliki draft diatas 7 meter dapat dilayani di daerah
lego jangkar kurang lebih 5 – 10 km lepas pantai.
Menjadi pertanyaan jikalau potensi
pantai Cirebon sepanjang 53 km hanya digunakan untuk memancing ikan dengan
menggunakan kail, jala, dan anco saja. Atau wisata kecil di Tempat Pengelolaan
Ikan (TPI) Kejawanan. Sementara potensi lain yang mampu menyerap tenaga kerja
dalam jumlah cukup besar serta dapat membantu mengurangi pengangguran, belum
tergarap secara optimal. Puluhan gudang yang kian tidak terawat dan cenderung
ditinggalkan, tidak terlihatnya tumpukan container dan proses bongkar muat
dengan alat berat seperti Fork Lift, Vessel Lift, Lifting Gantry Crane (GLC)
dan lain-lain. Dok dan galangan kapal yang sepi kegiatan reparasi kapal
seusai melaut atau hendak melaut, ketiadaan kapal angkut penumpang
~semoga segera berakhir di Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Pelabuhan yang sejak
tahun 1983 berada di bawah pengelolaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II yang
berkantor pusat di Jakarta.
Potensi pelabuhan Cirebon yang
terabaikan ini merupakan pekerjaan bersama supaya ingatan kita tentang
pelabuhan tidak semata berhenti pada menyaksikan sunrise (matahari
terbit) bakda kuliah Shubuh di masjid An-Nur pada bulan Ramadhan puluhan tahun
lalu.
Perbandingan
Seorang wisatawan menuliskan
kesannya setalah mengunjungi Pelabuhan Hamburg Jerman. Katanya, “Daerah
pelabuhan di banyak kota-kota sering adalah tempat kotor dan berbahaya, tapi di
Hamburg berbeda. Port´s wisata catwalk dan lingkungan "Hafencity"
adalah sangat menarik tempat untuk mengetahui dan harus dikunjungi. Namun, naik
perahu tidak begitu menarik, jadi meski pun itu membuang-buang waktu, saya
lebih suka berjalan-jalan tanpa tujuan untuk Hafencity dan menemukan sebuah
kafe untuk duduk dan rileks antara saluran mereka.”
Waterfront Development adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi
pantai, sungai ataupun danau. Pengertian “waterfront” dalam
Bahasa Indonesia secara harafiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang
berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003). Waterfront
Development juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan
yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya
pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan
air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi
berorientasi ke arah perairan. Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota
Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang
terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan
sejenisnya. Kota San Antonio di Texas berhasil mengembangkan waterfront
city modern yang dapat mempertahankan bangunan bersejarah dan dapat
menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Kawasan Waterfront
city di pusat kota ini yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian di
Texas.
Beberapa kota di Indonesia yang
sudah menerapkan konsep pembangunan waterfront city, yaitu: Jakarta,
Manado, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, dan Palembang. Kota-kota itu
mengembangkan kawasan bisnis, kawasan hunian, kawasan wisata. Kawasan Ancol
Mansion di Jakarta, area pesisir pantai Boulevard Manado, penataan
Pantai Losari di Makassar, Pasar Terapung di Sungai Barito Banjarmasin, Lamong
Bay Port (Teluk Lamong) di Surabaya, pengembangan wisata dan transportasi
air di Sungai Musi Palembang ~merupakan contoh penerapan konsep pembangunan
kota pelabuhan.
Apabila digarap secara serius tentu
saja Pelabuhan Muara Jati Cirebon bisa dikembangkan untuk menciptakan fungsi,
skala perubahan suasana yang dinamis melalui penataan kawasan komersial,
industri, residensial dan rekreasi. Jika Singapore Port Authority atau
Tanjung Lepas di Malaysia sukses mengail keuntungan ekonomi dan sebagainya,
mengapa pelabuhan Cirebon belum mampu bangkit kembali sebagaimana 20 tahun yang
lalu? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar