Oleh Dadang Kusnandar
"Lukisan kalian hanya
mengelabui kumbang dan kupu-kupu,
tetapi gambar saya bisa menipu manusia"
(Raden Saleh)
Lukisan
Raden Saleh yang berjudul “Badai” bisa
kita nikmati di Galeri Nasional Jakarta. Lukisan ini beraliran Romantisme.
Dalam aliran ini seniman sebenarnya ingin mengungkapkan gejolak jiwanya yang
terombang-ambing antara keinginan menghayati dan menyataka dunia (imajinasi)
ideal dan dunia nyata yang rumit dan terpecah-pecah. Dari petualangan
penghayatan itu, seniman cenderung mengungkapkan hal-hal yang dramatis,
emosional, misterius, dan imajiner. Namun demikian para seniman romantisme
sering kali berkarya berdasarkan pada kenyataan aktual.
Dari empat
periodesasi kehidupan Raden Saleh, yang menarik adalah periode keempat,
“Kesadaran Posisi”. Pelukis kelahiran Semarang itu berhasil memadukan antara modal sosial, modal
kultural, dan modal ekonomi secara ideal. Meski dinilai mampu mengalahkan
pertarungan melawan diri-sendiri, kehidupan Saleh berakhir dengan kesepian. Ia
pindah dari istananya yang mewah di Cikini, Jakarta ke desa Bondongan di
kawasan Bogor. Di sinilah Saleh dan isterinya, Raden Ayu Danudirejo,
dimakamkan. Periode inilah yang menjadi argumen Suwarno tentangn sikap
patriotik Saleh. Pada 1857, contohnya, Saleh melukis Penangkapan Pangeran
Diponegoro yang merupakan reiinterpretasi dari lukisan dengan tema yang sama
karya pelukis Belanda Nicolas Pieneman. Sepintas, kedua versi lukisan itu sama
saja. Tapi, ada beberapa perbedaan prinsip yang menunjukkan secara jelas
pendirian Raden Saleh.
Suwarno memperlihatkan perbedaan-perbedaan di antara kedua versi. Antara lain, setting gedung dalam karya Saleh tidak berada di sebelah kanan, tapi di sebelah kiri dengan meniadakan gambar bendera Belanda yang terdapat pada versi Pieneman. Adegan dan gerak tubuh Diponegoro juga menggambarkan kondisi melawan. Yang menarik, dan ini tak asing dalam lukisan-lukisan Saleh lainnya, terdapat potret diri sang pelukis dalam lukisan ini. Beberapa pengikut Diponegoro juga digambarkan berwajah Raden Saleh.
Suwarno memperlihatkan perbedaan-perbedaan di antara kedua versi. Antara lain, setting gedung dalam karya Saleh tidak berada di sebelah kanan, tapi di sebelah kiri dengan meniadakan gambar bendera Belanda yang terdapat pada versi Pieneman. Adegan dan gerak tubuh Diponegoro juga menggambarkan kondisi melawan. Yang menarik, dan ini tak asing dalam lukisan-lukisan Saleh lainnya, terdapat potret diri sang pelukis dalam lukisan ini. Beberapa pengikut Diponegoro juga digambarkan berwajah Raden Saleh.
Munculnya
pertanyaan mengenai lemahnya nasionalisme Raden Saleh akhirnya menjadi kutub
magnetis yang menyedot perhatian. Sebaliknya maestro lukis itu justru
memperlihatkan betapa ia ingin sekali menjadikan diri sebagai laskar perang
pada Perang Jawa di bawah komando Pangeran Diponegoro. Fakta lukisan
fenomenalya bahwa beberapa pengikut Ontowiryo/ Hamengku Buwono IV/ Pangeran
Diponegoro berwajah Raden Saleh sendiri, memperjelas keinginannya berontak
kepada Belanda. Dan pemberontakan seorang seniman lukis dituangkan melalui karya lukisnya.
Pelajaran
lain yang memperlihatkan nasionalisme Indonesia sang pelukis ialah fakta
bahwa rumah pribadinya di daerah Cikini
dengan arsitektur dan interior gedungnya dibangun sendiri menurut teknik sesuai
kebutuhan seorang pelukis, diserahkan kepada pengurus kebun binatang. Sebagai
tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya
yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi
Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi Rumah Sakit Cikini Jakarta.
Lebih
dalam mempelajari biografi Raden Saleh tampak bahwa beliau dekat dengan Kebun
Raya Bogor. Artinya dekat dengan suasana botani, suasana tanaman langka, dan
ciri khas Indonesia sebagai negara agraris. Kedekatan itu agaknya yang
mempertautkan karya-karyanya yang natural. Lukisan kuda dengan detil yang tepat
dan panorama keasrian Indonesia, misalnya lukisan berjudul “Badai”, meski masuk
kategori beraliran romantisme namun badai yang terjadi di laut terinspirasi
oleh fakta alam. Sesuatu yang sangat natural. Dengan kata lain Indonesia dalam
pandangan Raden Saleh adalah Indonesia yang natural. Dan pembuktian naturalis
itu tampak pada penguatan pertanian, lengkap dengan segala mekanisme, teknologi
serta sistem yang diperlukan.
Kedekatan
Raden Saleh dengan pendiri Kebun Raya Bogor, Prof. Caspar
Reinwardt
sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan
pulau sekitarnya, membuka ruang imajinasi karya lukisnya dengan tema alam
Indonesia. Alam terbuka dan telanjang (ketika itu) yang dekat sekali dengan
suasana agraris. Suasana tersebut harus kembali dikedepankan saat ini supaya
pertanian Indonesia tidak terus menjadi subordinasi negara lain.
Kembali
ke awal tulisan, lukisan yang menipu, relevan dengan kenyataan tentang pribadi
Raden Saleh yang mencintai Indonesia. Ia menipu kolonial Belanda dengan caranya
sendiri, dan kita sebagai penikmat karya lukisnya sangat tidak beralasan
apabila tetap mempertanyakan dengan sinisme, “Nasionaliskah seorang Raden
Saleh?”.
APA yang
pernah saya sampaikan pada diskusi seni rupa di Indramayu beberapa bulan ke
belakang dengan mempertanyakan nasionalisme Raden Saleh, kiranya terjawab
sudah. Bahwa pelukis pun memiliki cara tersendiri menuangkan gagasan
nasionalisme dan keindonesiaannya melalui sapuan kuas bercat minyak di atas
kanvas. Dan ini sudah dibuktikan Raden Saleh dengan cara yang nyeni. Artinya ia
bukan antek Belanda, bukan kaki tangan kolonial, dan bukan seniman yang hanya
secara pragmatis memanfaatkan ruang berkaryanya. Akan tetapi seorang yang
memiliki sikap keindonesiaan yang patut ditiru. Setidaknya Taman Ismail Marzuki
dan Rumah Sakit Cikini di Jakarta merupakan sumbangan sangat berharga bagi
masyarakat.
Nasionalisme
seniman dengan demikian masih menjadi tengara betapa sebenarnya setiap seniman
tetap memiliki kecintaan dan rasa sayang kepada bangsanya. Meskipun pada suatu masa sempat disangsikan
bahkan terus dipertanyakan sebagai sebuah sikap yang kontradiktif serta
kontraproduktif. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar