Selasa, 21 Oktober 2014

Buruk Muka Kampus Dibelah



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

KORUPSI, kata yang menakutkan bagi kalangan pengguna keuangan. Kata itu pula mengundang rasa ketidaknyamanan manakala disematkan kepada diri seseorang.  Aktivis politik tiba-tiba dikenai pasal korupsi, lalu publikasi meluas dan ia dihadapkan sebagai saksi, tersangka, terdakwa di pengadilan. Sanksi hukum pun harus ia terima, meski kerap merasa bahwa dirinya bukan koruptor, serta stigma koruptor padanya tak lebih dari sebuah proses politik yang cukup panjang.

Siapa pun orangnya dan apa pun jabatannya ketika terjerat kasus korupsi akan berkelit semampu mungkin untuk bisa lepas dari konsekuensi hukum. Di samping tentu pula menyangkut nama baik  yang tercoreng, runtuhnya kredibilitas dan kepercayaan publik. Rasa malu akhirnya datang ketika secara hukum positif ia ketahuan melakukan tindak korupsi. Yang paling berat ialah rasa malu kepada lembaga atau institusi tempat mengabdi.

Jika korupsi melanda ke dunia pendidikan, apa yang diharapkan kelak bagi lembaga penting sebagai pencetak generasi unggulan itu? Itu sebabnya menyangkut IAIN Syekh Nurjati Cirebon, “kabinet” ke depan harus mempunyai komitmen memberantas korupsi. Pelaporan semua aset kampus ke Kas Negara, sebagaimana dilakukan Rektor IAIN SNJ, mungkin saja positif bagi pemberantasan korupsi. Kepengurusan ke depan IAIN SNJ pun harus memiliki komitmen yang kuat terhadap bidang akademik. Ini penting mengingat masih adanya suara-suara negatif terhadap perilaku akademik beberapa dosen senior, bahkan guru besar. Kampus harus terbebas dari politisasi yang diam-diam dilakukan oleh civitas academicanya sendiri.


Masa depan kampus negeri satu-satunya (hingga saat ini) di Cirebon juga ditentukan oleh komitmen kerja yang unggul. Dalam arti seluruh elemen yang terkait dalam aktivitas intelektual itu mampu memperlihatkan kerja yang optimal sehingga mampu menaikkan gengsi kampus. Kerja unggul dengan hasil kerja unggulan sangat mungkin bagi iklim kondusif peningkatan kualitas pendidikan tinggi tersebut. Kerja unggul yang berangkat dari kepentingan lembaga, tak urung mesti disertai dengan dedikasi, etos kerja, maupun integritas intelektual para penghuninya ~di dalamnya termuat etika intelektual.

Korupsi yang melanda aktivitis politik boleh dikata hal biasa lantaran sejak diundangkannya pemberantasan korupsi, negara yang bersih dari tindakan korupsi-kolusi-nepostisme (KKN), didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), negeri kita memasuki fase cukup bagus dalam hal “pengamanan” keuangan negara. Sebaliknya korupsi yang menerpa dunia pendidikan merupakan sebuah kegagalan teramat besar sehingga tidak saja melahirkan ketidakpercayaan masyarakat. Korupsi pada dunia pendidikan harus segera diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh, dan terhindar dari pepatah: Buruk Muka Cermin Dibelah.

Jargon KPK yang popular, “Kalau Bersih Kenapa Risih”, menitipkan pesan moral yang kuat. Betapa pun hantaman pihak dalam dan luar yang dialamatkan kepada setiap orang yang ditengarai melakukan tindak korupsi, agar tidak merasa risih. Kelak peradilan lah yang membuktikan apakah ia memang seorang koruptor atau pihak yang terkena hasutan sampai diproses sebagaimana layaknya. Koruptor atau bukan sangat tergantung pada keputusan pengadilan.

Dengan demikian kampus harus bersih supaya tidak risih. Bersih dari carut marut yang memungkinkan munculnya pertikaian internal. Bersih yang lain ialah bersih dari tindakan koruptif yang memicu kuatnya pertikaian sampai melupakan tugas utamanya, yakni mendidik generasi muda supaya memiliki pemahaman yang terintegrasi dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pertama Pendidikan, kedua Penelitian dan Pengembangan, ketiga Pengabdian Masyarakat.

Perguruan tinggi juga dapat mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis pada keilmuan dan sumberdaya lokal dalam kerangka sistem nilai budaya bangsa, membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka merespon perubahan global yang sangat dinamis, mengembangkan pusat-pusat pengembangan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya dan nilai-nilai lokal yang ada, membantu pengembangan kebijakan strategis terhadap legislatif dan eksekutif serta mengontrol implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Perguruan tinggi juga dapat berperan dalam mengembangkan strategi kebudayaan, hal tersebut sangat diperlukan dalam membangun peradaban bangsa, terutama untuk membangun nilai-nilai yang sejalan dengan kemajemukan bangsa agar keberagaman diterima sebagai sebuah kekayaan dan tidak dipertentangkan. Pembangunan peradaban itu sendiri perlu berbasis pada nilai etika dan nilai budaya yang sudah melekat dalam jari diri bangsa.

Apa yang bakal terjadi apabila kampus sibuk dengan masalah internal yang tidak produktif. Dan dapatkah Tri Dharma Perguruan Tinggi terwujud seandainya rektor, pembantu rektor, dekan, dosen senior, guru besar, petugas administrasi kampus terus bertikai melakukan pembenaran atas apa yang telah dilakukannya selama ia menjalankan tugas intelektualnya? Pembenaran yang bertolak belakang dengan kerja unggul demi menciptakan perguruan tinggi yang unggul serta menjadi contoh perguruan tinggi di sekitarnya. Sebagai satu-satunya PTN di wilayah Cirebon, seharusnya IAIN SNJ memberikan teladan yang baik dalam hal pengelolaan kampus.


Sengkurat kasus yang menimpa lembaga pendidikan tinggi negeri di wilayah Cirebon semoga menjadikan kita kian bijak bahwa membangun kekuatan lembaga dengan segenap daya dukung yang dimiliki akademisinya adalah jauh lebih penting daripada membangun diri atas nama lembaga. Membangun diri hanya berdampak pada diri sendiri dan orang terdekat yang mengitarinya, sementara membangun lembaga akan berdampak langsung bagi seluruh civitas academica yang tergabung di dalam lembaga itu.

Satu hal yang mesti diingat pula ialah pentingnya menjaga wibawa kampus. Kewibawaan yang antara lain ditunjukan oleh keinganan kuat menyelesaikan masalah internal tanpa melibatkan pihak eksternal. Artinya semakin sering pembahasan buruk menyoal kampus melalui publikasi media cetak elektronik, pada satu sisi menampilkan wajah buram yang buruk rupa. Sisi buruk itu terjadi mengikuti pepatah lama yang telah dianjarkan para orang tua kita, menepuk air di dulang terpecik muka sendiri. Dengan perkataan lain, insan pendidikan yang memiliki niat kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, marilah beranjak dari diri sendiri untuk menyelesaikan segala permasalahan internal dengan menepis dendam dan kesumat.***


Senin, 13 Oktober 2014

Lah, Sapa Sing Maca Bung



Oleh Dadang Kusnandar

Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon.

PAPAN pengumuman di kelurahan dan atau kecamatan lebih sesak oleh iklan. Baik iklan kredit perumahan, barang elektronik, maupun kendaraan. Hanya satu dua iklan plat merah (dari pemda setempat) yang berisi pengumuman kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tepat pada waktunya, atau kenaikan tarif air minum/ tarif dasar listrik dan sejenisnya. Masyarakat sekitar kelurahan relatif enggan berlama-lama berdiri di depan papan pengumuman.

Pemandangan lain tentang papan pengumuman justru saya temukan di Kabupen Jepara. Sekitar alun-alun, agak menyempit di samping gang, sebuah papan pengumuman berbingkai kayu dan ber jendela kaca serta terkunci, menyajikan koran Suara Merdeka. Saya menuliskan ini tanpa maksud mengiklankan koran tersebut. Dipasang berjejer per halaman dan mudah dibaca masyarakat sambil berdiri. Papan pengumuman itu sepertinya menjadi pilihan sesaat setelah lelah berolah raga di sekitar alun-alun depan tugu lambang kota. Juga saat menunggu seseorang dan sebagainya.

Pemasangan koran di papan pengumuman puluhan tahun lalu dilakukan teman-teman Pikiran Rakyat Jalan Kartini Cirebon. Entah mengapa usianya pendek dan tidak ada kelanjutannya. Agaknya bagus juga jika dihidupkan lagi, setidaknya ketika media cetak berhadapan dengan media elektronik yang lebih siap saji.

Pada era keterbukaan dan informasi publik, memfungsikan papan pengumuman secara optimal nampaknya patut dilakukan. Ini menyangkut, pertama, tidak semua pengguna dunia virtual membaca dengan teliti. Kedua, membaca melalui dunia virtual yang gampang dilakukan karena dengan mudah dapat diakses dari hp, biasanya hanya selintas dan mudah lupa. Ketiga, ada kecenderungan pengguna dunia virtual hanya membaca judulnya saja lantas beralih ke sosial media yang bisa berinteraksi secara langsung.

Padahal beberapa plang biasa berjejer merapat dan merusak pemandangan kantor kelurahan/ kecamatan, bahkan balai pertemuan kampung (baperkam) di tingkat RW. Plang-plang tersebut sepertinya memperlihatkan kesibukan yang bukan main. Berbagai lembaga pendukung RW, Kelurahan, dan Kecamatan itu memadati halaman parkir serta memperlihatkan aktivitas warga sekitarnya. Sebut saja misalnya PKK, LPM, Warga Siaga, Posyandu, dan lain-lain. Namun tetap saja papan pengumuman yang tersedia hanya berisi sesuatu yang tidak menarik minat baca (kecuali terpaksa).

Pada sebuah kesempatan saya pernah berbincang dengan Anggota DPRD Yang Terhormat. Tanpa prolog saya katakan, supaya warga mengetahui alokasi penggunaan keuangan daerah, sebaiknya APBD dipampang di papan pengumuman Kelurahan, dan Kecamatan. Ini saya sampaikan karena untuk Kota Cirebon hanya butuh 27 salinan APBD yang akan dipampang di lima kecamatan dan 22 kelurahan. Anggota DPRD itu mengelak dan menjawab, “Lah, sapa sing maca bung?”. Spontan saya jawab, “Ya pasti ana. Sok lah isun wani toto`an”.

Dialog pun macet meski sudah saya sampaikan, jangan beralasan uangnya dari mana. Teringat ucapan seorang sohib almarhum, “Itu bukan uang Anda. Gunakan saja. Itu uang rakyat, dan rakyat berhak tahu aliran keuangan daerahnya”. Dialog terhenti dan hingga kini tidak ada salinan APBD yang terbuka serta mudah diketahui siapa pun yang disediakan (dipajang) di papan pengumuman kecamatan serta kelurahan.

Keinginan membaca APBD muncul mengingat tidak semua warga diundang oleh DPRD saat pengesahan APBD melalui sidang paripurna (hehe….kalau diundang semua di mana tempatnya). Di balik ketersediaan salinan APBD yang terpampang di papan pengumuman publik kita dapat membaca secara jelas besaran dana plus alokasinya yang meliputi dua hal, yakni pengeluaran dengan nomenklatur belanja rutin dan belanja pembangunan. Masyarakat pun dapat menilai dan mengkritisi lalu memberi input kepada pemerintah daerah apabila terdapat hal-hal yang memihak publik.

Munculnya reaksi pada pengadaan mobil dinas yang kini ramai dibincangkan di Kota Cirebon, malah mengundang demo berbagai kalangan dapat diantisipasi seandainya salinan APBD telah dipajang di papan pengumuman secara terbuka. Kabar tentang mobil yang salah peruntukkan merebak lantaran berbanding terbalik dengan bunyi UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, utamanya di Pasal 3. Juga bertentangan dengan isi PP No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Membaca penjelasan Fauzan SH, Bankumham KNPI Kota Cirebon di media cetak Cirebon, mengingatkan perlunya keterbukaan informasi publik, khususnya bagi warga Kota Cirebon.

Itu baru satu contoh dan masih banyak contoh lain menyangkut pentingnya APBD diketahui warga masyarakat. Bisa saja menyoal bantuan atau dana non budgeter yang  hanya diketahui orang-orang tertentu. Demikian pula pos-pos lain yang mengandung dan mengundang potensi “rawan”.

Kembali ke persoalan menyoal papan pengumuman. Keterbukaan dan informasi publik, sesuai dengan peristilahannya, merupakan hak dasar masyarakat mengetahui segala sesuatu berkaitan dengan proses pembangunan daerah. UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik ini tentu saja diabdikan bagi kelangsungan pembangunan dengan pelibatan masyarakat di dalamnya. Ini selaras dengan napas reformasi, utamanya pada sisi pengetahuan masyarakat menyoal pembangunan fisik dan non fisik. Dan beriringan dengannya, Komisi Informasi Publik pun menjadi perlu untuk mengawal keperluan masyarakat mengenai informasi yang diperlukan bagi pembangunan daerah/ negara.

Komisi Informasi Publik (KIP) di Kota Cirebon sudah ada sekira 6 (enam) tahun dan berkantor di Jalan By-Pass Brigjen Dharsono. Tapi kiprahnya belum ketahuan dan belum dirasakan oleh publik. Membaca nama plang kantornya yang cukupkeren, tentu saja perlu aktivitas keren yang disajikan kepada publik Kota Cirebon. Jika keberadaannya belum dapat dioptimalkan oleh jajaran apparatus KIP Kota Cirebon, agaknya menjelang 2015 mendatang yang penuh tantangan serta kompetisi dengan pihak asing, KIP Kota Cirebon harus berbenah serta menyiapkan langkah strategis memenangkan persaingan di era AFTA. Minimal agar warga Kota Cirebon tidak sekadar jadi penonton tarik menarik kepentingan serta kepentungan asing di tanahnya sendiri.

Tulisan pendek ini disajikan sebagai urun rembug sangat kecil untuk masyarakat Kota Cirebon yang haus informasi. Tentu saja informasi yang kelak mengantarkan menuju perbaikan hidup, baik secara fisik maupun non fisik. Semoga ada yang berkenan membaca. Tidak seperti judul tulisan ini, “Lah, sapa sing maca, bung?”.***