Kamis, 08 Mei 2014

Sanggul dan Kebaya

Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

PELAJAR putri Indonesia (waktu saya sekolah dulu) tiap tanggal 21 April dihimbau guru agar mengenakan kain kebaya dan bersanggul ke sekolah. Tahun 1970-an hingga 1980-an itu masih banyak ibu-ibu yang mengenakan kain kebaya dan bersanggul manakala pergi ke sebuah pesta perkawinan dan atau kegiatan perempuan lainnya. Ibu saya cukup sibuk mendandani adik perempuan saya ketika kalender menuding ke angka 21 April. Demikian pula ibu-ibu yang lain. Tak jarang ada yang mengambil jalan pintas: menggunakan jasa layanan salon kecantikan.

Pemandangan di sekolah jadi  menarik. Teman-teman perempuan yang biasanya hanya mengenakan pakaian seragam sekolah, kali itu tampak cantik berbalut kain kebaya dengan rambut disanggul. Gaya sanggul pun beragam. Sementara pelajar laki-laki tetap berpakaian seragam karena saat itu belum populer penggunaan jas dasi bagi pelajar.

Tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Kartini, pahlawan perempuan yang sukses mengangkat citra kaum perempuan (khususnya masyarakat Jawa)  pada masa kolonial. Kami di sekolah kerap menamakan peringatan itu dengan istilah Kartinian. Artinya memperingati tanggal kelahiran Raden Ajeng Kartini yang ditunjukkan melalui penggunaan pakaian yang dikenakan beliau ~mungkin hampir sepanjang hidup.

Tiap 21 April tidak ada kegiatan belajar mengajar. Sekolah memang tidak libur, namun kegiatan terpusat pada semacam seremoni mengenang Kartini. Kami hafal benar wajah Kartini karena di dinding kelas fotonya dipajang berikut pahlawan-pahlawan lainnya. Trio pahlawan perempuan yang kami ingat adalah RA Kartini, Cut Nyak Dien, dan Dewi Sartika. Ketiganya bertengger di dinding kelas dan menampakkan eksistensinya masing-masing. Kartini dengan kelembutan perempuan Jawa yang berpikiran jauh ke depan melampaui perempuan-perempuan pada masanya. Cut Nyak Dien dengan pakaian adat Aceh dan keris terhunus di tangan. Sementara Raden Dewi Sartika dengan kebaya Sunda dan sanggulnya menampakkan sorot keberanian melawan kesewenangan pemerintah Belanda.

Kartini, Cut Nyak Dien, dan Dewi Sartika ~semuanya melakukan perlawanan terhadap zamannya. Kartini melalui kontemplasi tertulisnya, sebuah pemberontakan batin melihat betapa getir budaya mengurung perempuan Jawa. Cut Nyak Dien selain dikenal sebagai pemimpin perang melawan Belanda, ternyata beliau pun seorang guru mengaji bagi anak-anak. Dan Dewi Sartika berupaya memulihkan harkat derajat kaum perempuan Sunda dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri di Bandung.

Kembali kepada kain kebaya dan sanggul. Suatu siang menjelang 21 April 2014, seorang ibu berkendara sepeda motor tampak mengantar anaknya ke sekolah. “Besok hari Kartini, jadi hari ini anak saya harus memilih pakaian yang akan dikenakan besok”, katanya mantap. Ternyata anak lelakinya bersekolah di SD Negeri Kartini Cirebon. Saya tidak merinci pertanyaan pakaian model apa yang akan dikenakan anak lelakinya pada 21 April. Yang saya tahu, Kartinian merupakan hari penggunaan kain kebaya dan rambut yang disanggul bagi pelajar perempuan.

Seiring perjalanan dan mungkin saja kecenderungan model busana, kain kebaya dan sanggul perlahan lenyap. Lemari pakaian di rumah-rumah hampir tidak ditemui kain kebaya. Gaya berbusana tahun 1920-an (?) itu telah bergeser oleh kerudung dan busana muslim. Lemari pakaian perempuan sesak oleh berbagai jenis dan motif busana muslim. Begitu pula celana panjang jeans dan T-Shirt mudah dijumpai pada lemari perempuan masa kini.

Dulu di lemari ibu saya selain terdapat beberapa potong kain bawahan (motif batik dan bunga), juga banyak baju kebaya berbagai warna dengan coraknya masing-masing. Selain itu ibu pun menggantung rambut panjang (rambut palsu) yang biasa digulungkan ke rambut ibu lantas dirangkai menjadi sanggul. Berkebaya dan bersanggul merupakan kesatuan yang padu. Ditambah alas kaki berupa selop ~dengan hak rendah atau tinggi, maka sosok ibu seketika berubah jadi cantik dan memancarkan pesona.

Kain kebaya dan sanggul itulah yang dikenakan adik-adik perempuan saya pada tanggal 21 April. Dan ibu mendandani sendiri anak-anaknya. Lalu adik-adik berangkat ke sekolah naik becak karena  “susah” kalau harus jalan kaki.

Berbusana kebaya dan bersanggul merupakan pemandangan tersendiri yang mengingatkan betapa pada puluhan tahun lalu masyarakat Indonesia telah menemukan baju khususnya yang dirancang bagi penampilan dan eksistensi perempuan. Kebaya dan sanggul menjadi ciri pakaian perempuan Indonesia. Sementara kaum lelaki diperlihatkan dengan penggunaan peci hitam. Kabarnya peci hitam ini pertanda nasionalisme Indonesia, ujar Bung Karno suatu ketika.

TAPI ke manakah kini kain kebaya dan sanggul? Apakah cara berpakaian perempuan pun harus mengadopsi budaya pop yang serba praktis? Celana jeans ketat dan T-Shirt lebih disukai perempuan sekarang, bahkan ada perempuan yang mengenakan celana jeans agak kedodoran sehingga belahan anusnya tampak. Di Cirebon dikenal istilah sms (silit metu setitik). Pengguna celana jeans bergaya sms ini banyak terjumpa di jalanan. Mereka berbonceng sepeda motor dengan kawan lelakinya sambil memainkan key pad ponsel.  Di lampu lalu lintas, kalau Anda mau menengok sekitar, satu dua pengguna celana jeans sms ini akan ditemui.

Persoalannya kemudian apakah kain kebaya dan sanggul tergeser oleh celana jeans ketat dan T-Shirt? Atau kalah oleh celana jeans ala sms? Begitu mudahkah perempuan masa kini memperlihatkan sebagian tubuh belakangnya kepada mata lelaki? Biasanya pula pengguna jeans sms ini mengenakan T-Shirt yang berbadan pendek, artinya pinggang si perempuan terlihat saat ia duduk.

Kartini, Dewi Sartika adalah pengguna kain kebaya dan sanggul. Keduanya bahkan mengajarkan berbagai keterampilan kepada perempuan pada masanya supaya perempuan mampu bersanding dengan laki-laki, tanpa terus menjadi beban ekonomi kaum lelaki. Begitu juga keduanya mengangkat citra perempuan agar tidak tersubordinasi oleh laki-laki.

Kesetaraan yang dikenal dengan istilah emansipasi perempuan waktu itu, atau kesetaraan gender saat ini, menjadi motivasi perjuangan membebaskan perempuan dari gelap menuju cahaya. Dengan kain kebaya dan rambut disanggul, pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia mengelaborasi kemampuan dirinya di ranah publik.***