Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, Anggota KMKK, tinggal di Cirebon
MENGIKUTI perhelatan kecil pengrajin ukir kayu di Jepara Jawa Tengah
minggu lalu, tergambar beberapa hal menyoal industri kerajinan rakyat. Seni
ukir kayu Jepara kabarnya telah ada dan diwariskan nenek moyang sejak jaman
kerajaan Kalingga. Ingat Kalingga, ingat Ratu Shima dan keadilan masa
kepemimpinannya. Ketika mobil yang dikemudikan Wahyu Rohaedi, Manajer Koperasi
Mebel Kayu Kaliwulu (KMKK) berhenti di Hotel Kalingga Star di Jalan dr. Sutomo,
bayangan saya melintas ke masa lalu. Masa ketika keadilan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga
menandakan bahwa sang ratu menegakkan keadilan kepada siapa saja. Terbayang
ratu hebat itu menerapkan hukum kepada anaknya sendiri.
Perhelatan kepada pengrajin ukir kayu berawal dari kurangnya keahlian
mengukir para pengrajin mebel kayu Desa Kaliwulu. Umumnya pengrajin Kaliwulu
hanya mampu mengerjakan pesanan mebel minimalis, alias tanpa motif ukiran. Bila ada order yang minta diterakan
ukiran maka pengusaha mebel mendatangkan ahli ukir dari Jepara. Konon sang ahli
ukir kini menetap dengan keluarganya di Kaliwulu, saking seringnya ia
memperoleh pesanan mengukir. Namanya Mang Mad, entah siapa nama lengkapnya,
karena di KMKK ia biasa dipanggil begitu.
Agak sulit memang menyusur jejak sejarah
seni ukir warisan Kerajaan Hindu Kalingga (menurut wikipedia kerajaan
itu terletak di Jepara) mengingat ketiadaan situs kerajaan yang mencapai puncak
kejayaannya pada tahun 450 Masehi. Tetapi yang lebih penting ialah keadilan
yang diterapkan Ratu Shima terhadap rakyatnya. Keadilan yang langka pada masa
kini, termasuk masa berikutnya ketika seni ukir dan seni patung berhasil
menghidupi masyarakat Jepara. Ia menjadi langka lantaran menurut pengrajin
mebel yang saya temui, hingga lebih 20 tahun menggulati seni ukir kayu belum
pernah memperoleh bantuan keuangan dari pemerintah daerah setempat. Usut punya
usut, konon ia hanya sekali memperoleh bantuan pinjaman sebesar Rp 5 juta dari
Asmindo, itu pun atas kedekatan personal dengan Slamet (pegiat Asmindo).
Berbincang dengan Wahyu Rohaedi tentang seni ukir, ia menjawab KMKK
fokus kepada kerajinan kayu dalam bentuk mebel (dan furniture) tanpa ukiran.
Tangan lembut Mang Mad itulah yang menerakan ragam ukir Jepara pada karya
mebelnya. Tergelitik pesan pendek sahabat saya, Daryanto, yang bekerja di
Tangerang: Jepara kota bumi kartini, sejarah seni kriya ukir. SMS itu
menggerakkan untuk sedikit tahu apa dan bagaimana seni kriya ukir (dan seni
patung) Jepara.
Demikianlah manakala 10 peserta magang kerajinan seni ukir Jepara
bersama Kepala Dinas Koperasi & UKM Kabupaten Cirebon berikut stafnya
membawa kami ke Desa Mulyoharjo, lokasi pengrajin patung ~ada kekaguman melihat
langsung aktivitas masyarakat desa itu. Ibu-ibu berkebaya, lelaki tak berbaju,
bapak dengan kepulan asap rokok; tampak asik memahat motif dua ekor burung
elang dalam posisi sedang memindahkan pakan melalui paruhnya. Bukan itu saja.
Motif kuda berbagai pose (termasuk dengan buah zakar dan penisnya) menjadi
lokasi narsis beberapa teman. Juga
ada patung berbentuk tubuh Sam Poo Kong,
singa, dan ikon Jepara yang masyhur itu: Macan Kurung. Bentuk ikon Jepara tersebut ialah seekor macan diikat rantai ke terali kurungan, di sisi luar kurungan ada 4 (empat) ular Cobra dengan mulut menganga, dan di atas kurungan tampak
seekor elang baru hinggap lalu menjejakkan kakinya di
sebuah batu. Motif ini banyak ditemui
di kampung pengrajin patung, Desa Mulyoharjo. Sedangkan yang dibuat dari
semen dan adukan dijadikan batas Kabupaten Jepara dengan Kudus.
Jenis patung lain adalah gajah, ikan dalam
berbagai pose, kepiting, kura-kura, dan sebagainya. Yang menarik seni ukir
dekoratif pun tidak tertinggal. Ada kaligrafi bahasa Arab, juga ada kisah
beberapa orang-orang berjanggut dan berambut gondrong tengah berdiskusi masa
lampau dengan busana jubah. Kemampuan mengukir yang diwariskan ini (turun
temurun) terus dipertahankan warga, baik sebagai penopang biaya hidup maupun
keasikan seni kriya kayu, maka dengan mudah diterapkan pada seni mebel
minimalis. Mebel minimalis artinya yang relatif sedikit menggunakan motif ukir
sebagaimana produk mebel kayu Kaliwulu, misalnya meja kursi, lemari, buffet dan
sebagainya.
Harga jual produk patung ukir Jepara bervariasi
antara Rp 50 ribu – Rp 12 juta. Sementara ongkos kerja menggunakan dua model,
yakni borongan dan harian. Produk ukir Jepara telah melanglang ke manca Negara,
misalnya AS, India, Malaysia, Singapura, Arab, Jerman, Australia, Jepang, dan
Korea. Pemesanan dalam negeri pun tak kalah ramai. Hanya saja saat ini menurut
pengakuan pengrajin, pesanan sedang sepi, hal ini tampak pada banyaknya barang
(produk ukir) yang menumpuk. Kayu
didapat dari Klaten, Demak, Cilacap. Saat ini transaksi jual beli dalam keadaan
sepi terlihat dari banyaknya barang hasil produksi yang menumpuk.
Kartini,
Nimas Kalinyamat
Menatap Jepara dari dekat sebanding dengan
menatap jejak ibunda Kartini. Saat beliau resah dan menyendiri di pantai lantas
menulis kegelisahannya tentang nasib kaum perempuan pada masa itu, lalu menulis
sepucuk surat kepada sahabat perempuannya di Belanda yang bernama Stella, Pemda
Kabupaten Jepara menamainya sebagai Pantai Kartini. Pantai Kartini merupakan
lokasi wisata yang cukup menyenangkan bagi liburan atau acara santai keluarga. Patung
besar berbentuk kura-kura dengan bagian perutnya difungsikan menjadi gedung
yang memajang biota laut ~cukup asik untuk wisata ekologi.
Saya belum
paham tentang sebuah ruang bernama Peringgitan di Pendopo Kabupaten Jepara.
Asumsi saya sederhana sekali, apakah saat itu ibunda Kartini menjual produk
tertentu (sebagaimana Ibu Inggit Garnasih menjual Bedak Ningrum) lalu orang/
pembeli mengeluarkan uang ringgit. Namun menurut sebuah keterangan, bangunan Pendopo Kabupaten Jepara
ini dibangun kurang lebih pada tahun 1750, yaitu pada era pemerintahan Adipati
Citro Sumo III, beliau merupakan pimpinan pemerintahan yang ke 23 selama kurun
waktu 22 tahun (1730-1760), sedangkan ayah RA Kartini merupakan bupati ke 31
selama kurun waktu 24 tahun (1881-1905). Di pendopo ini terdapat Ruang Peringgitan. Ruang ini dulu untuk
menerima/menjamu tamu terbatas, sampai saat inipun tempat ini masih
dipergunakan untuk dahar prasmanan
dan menerima tamu.
Yang tak kalah penting adalah majalah dinding dengan Koran harian Suara
Merdeka yang terletak di belakang
Mesjid Raya Repara seberang alun-alun, ini merupakan wujud nyata ketersediaan fasilitas umum yang mencerdaskan dan layak
ditiru. Berjalan kaki mencari angin segar dan sekadar handy craft Jepara, Anda tidak akan menjumpai pengemis dan
pengamen, begitu pula trotoar yang benar-benar berfungsi bagi pejalan kaki
lantaran di sana tidak berdiri tenda-tenda Pedagang Kaki Lima (PKL). Namun
kelemahan Kabupaten Jepara ialah ketiadaan angkutan kota. Entah apa alasannya,
yang pasti saya melihat siswa SD berjalan kaki tengah hari sepulang sekolah,
ketika suhu udara diperkirakan di atas
30 derajat Celcius.
Ukiran Jepara dengan demikian menyimpan cerita,
tentang masa lalu yang gemilang ketika hadir tokoh penting berjuluk Nimas
Kalinyamat yang bernama asli Ratu Retno Kencono dan memperoleh nama penghormatan dari Portugis
yakni Rainha de Jepara “Senora de Rica” artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya. Itu sebabnya di pantai utara Jepara terdapat
benteng Portugis, dan Nimas Kalinyamat kerap berperang melawan Portugis
termasuk membantu Patih Unus dari Kerajaan Demak pada Oktober
1574. Sang
Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka.
Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal
jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer
kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang
Portugis sebagai Quilimo.
Seni kriya kayu ukir Jepara yang membanggakan ini menanti kesungguhan
pemerintah agar tidak sekadar bertahan, akan tetapi kembali dapat meraih masa
kejayaannya.***