Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon
AKHIR 2012 yang lalu saya memperoleh hadiah sebuah sajak
karya Saptaguna. Penulis asal
Indramayu Jawa Barat yang getol berkarya. Di kamar sebuah hotel berbintang di
Cirebon siang itu, ia membacakan karyanya. Ia tidak main-main dengan karyanya.
Sajak berbahasa Cirebon berjudul Woi,
Wong! yang ditulisnya pada tahun 2010 berbicara lantang tentang situasi
politik. Suatu hal menggembirakan karena penyair tetap bersinggungan langsung
dengan kondisi aktual yang berlangsung di sekitarnya. Pengamatannya tentang
situasi sosial politik memungkinkannya memotret Indonesia dalam bingkai yang
lebih bening. Setidaknya ketika ketidakpercayaan terhadap sejumlah partai
politik terus berlangsung, ketika para pemimpin sibuk membentengi kekuasaan
dengan berbagai cara, dan ketika manusia digiring untuk percaya pada
janji-janji kampanye.
Melihat gambar berupa spanduk, baligo, poster sepanjang
pinggir kali, kata Saptaguna hatinya merasa nelangsa. Seperti kita juga, karena
untuk mengabdi kepada negara apakah mesti berteriak alias harus memberi tahu
publik? Dan haruskah memiliki pangkat/ jabatan/ kedudukan politik serta memberi
sejumlah uang demi pembelaan orang bernasib pahit? Saptaguna menulis dengan
pedih: ndelengi gambar seturute pinggir
dermaga/ ati krasa nelangsa/ apa kudu wewara ngabdi ning negara?/ apa kudu
ngedani pangkat ngurusi rayat?/ apa kudu tabur duit mbela wong kang nasibe
pait?
Sudah menjadi kelaziman wajah yang terpampang pada spanduk
dan baligo kampanye pemilihan kepala daerah menyertakan berbagai keunggulan
pribadi. Wajah yang telah dipoles itu memberikan janji dan berkata-kata bahwa
ia layak menduduki jabatan politik yang dikejarnya. Pada event politik reguler
lima tahunan itu, wajah-wajah ganteng dan cantik itu mengajak pemilih
menyerahkan dukungan/ suara politiknya kepada mereka. Tentu saja tidak semua
orang menerima dan percaya. Politik uang yang diperhalus dengan nama biaya
(cost) politik, menyebabkan tawa manakala melihat gambar yang terpajang di
spanduk dan baligo sepanjang jalanan kota. Nyawang
poto kang begrak lan ayu/ ati dadi gemuyu:/ tangan ngepel/ luru sega sekepel/
cangkem mesem/ amber rayat kesengsem/ nyandang jas anyar/ karna ngudagi palar.
Cukup jeli sang penyair merinci jenis gambar yang terpampang
itu. Dari gerak tangan dan senyum sang bakal calon (kepala daerah), sebenarnya
memunculkan tawa, selain tetap tidak beranjak dari pencarian kekayaan (sega
sekepel). Senyum yang disungging juga tak iklas karena ia ingin supaya pemilih
tertarik. Pada senyumnya yang memikat. Adakah yang lebih beruntung atau
diuntungkan oleh penampilan gambar ini? Rakyatkah atau para tim sukses yang
membagi sebagian rejeki kepada pengusaha spanduk? Lantas apa yang diperoleh
pemilih/ konstituen dari sederet gambar itu? Tidak jelas, karena sepanjang
sosok di balik gambar itu diketahui perilakunya oleh masyarakat, jangan harap
memperoleh dukungan. Terlebih memberikan suara politiknya di TPS pada Hari H.
Kenapa demikian? Belum ada catatan pilkada yang mengungguli perolehan suara
golput. Kedua, pilkada masih berkutat
pada pemilahan antara aku dan kamu, belum bicara kita. Ketiga, pemilihan kepala daerah tidak sedikit yang memperlakukan
pemilih pada kategori “khalayak” yang gampang dikibuli.
Wajar dan beralasan apabila Saptaguna mencibir: woi wong!/ aja milih kuning lamun atine ora
bening/ aja milih ijo baka doyan bebodo/ aja milih abang lamun kegembang ning
lambe abang/ aja milih gadung bokat wedi kesandung/ aja milih biru baka kaya
kodok kegawa ning garu/ aja milih ireng ari gawe urip kang bureng. Artinya
kita jangan memilih calon dari partai politik mana pun dengan semua warnanya
apabila hatinya tidak bening, suka menipu, doyan perempuan, takut tersandung
(proses hukum dsb), inkonsistensi, atau membawa hidup yang buram. Bayangkan apa
jadinya apabila kita memilih calon kepala daerah dengan criteria sebagaimana
gambaran di atas. Rakyat lagi-lagi akan terus berada pada subordinat dan
menjadi objek main-main, dan terus berulang.
Menyimak pemilihan kepala daerah di Indonesia, kita
dihadapkan pada ketegasan sikap. Sikap politik yang membentengi diri supaya
tidak berkutat pada kubangan yang sama, kubangan yang menyertakan betapa
politik sepanjang republik ini berdiri gagal menyejahterakan rakyat. Angka
pertumbuhan ekonomi, tingkat kemampuan/ daya beli masyarakat yang katanya
menguat, dan geliat dinamika ekonomi berbasis kerakyatan ~semuanya tak lebih lip service yang jauh panggang dari api.
Berkali dan berulang pemilihan kepala daerah hadir pada teks politik Indonesia,
dan berkali pula belum menampakkan hasil yang optimal bagi kesejahteraan.
Setragis dan sedramatis itukah gambaran pilkada?
Sebagai referensi sebaiknya pemilih berhati-hati menentukan
sikap politik, perlu pertimbangan jeli dan seksama agar kerja lima tahunan itu mampu
memberi arti bagi tuntutan rakyat. Rakyat sebenarnya tidak banyak meminta ini itu, kecuali harga sembako yang
murah, pendidikan dan kesehatan terjangkau (syukur jika gratis), terselenggaranya
pemerintahan yang bersih dan baik, serta kekuatan hukum di atas politik. Dan Saptaguna memberi kiat: woi, wong!/ pilihen sing putih/ sing wis
adus getih/ tirakat panas perih/ nuruti ati kelawan niat kang suci/ kocap lan
tindak kraket dadi siji/ ora keder ora wedi/ mbelani rayat ngorbanaken pati.
Putih di sini bermakna suci, apa pun warna bendera partai politiknya. Namun ia
telah bermandi darah, menyukai lapar asalkan rakyat kenyang, mengikuti kata
hati dengan niat suci, tindakan dan perbuatan menyatu, tidak gamang dan tidak
takut. Tak kalah penting: ia harus membela rakyat meski harus mengorbankan
jiwa.
Pertanyaannya, adakah sosok di balik gambar spanduk dan
baligo pilkada yang mewakili kiat sang penyair itu? Woi, wong! Weru beli? Wahai manusia, tahukah Anda? Benarkah sosok di balik gambar yang
terpampang sepanjang gelar pilkada berhasil merepresentasikan calon pemimpin
yang didambakan? Semuanya kembali kepada Anda, pembaca budiman. Di tangan
Anda letak nasib daerah yang Anda
tempati. Di dalam perenungan dan kesadaran positif Anda, pilkada menjadi objek.
Bukan subjek, dan tidak sekali pun mengharuskan Anda menentukan pilihan kepada
seseorang.
Sajak Woi, Wong!
karya Saptaguna menjadi pilihan paforit peserta lomba Maca Puisi Cerbonan yang
diadakan akhir November 2012 sebagai bagian kegiatan Lomba Basal an Sastra Cerbon
Tingkat Provinsi Jawa Barat, yang diadakan oleh Balai Pengembangan Bahasa
Daerah dan Kesenian Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Sajak Woi, Wong! rupanya menyemangati siswa
SD/MI, SMP/MTs, SMA/ MA/ SMK untuk merenungkan kembali makna pemilihan kepala
daerah bagi rakyat. Semoga pembaca sajak Saptaguna kelak pada saat tiba
waktunya untuk mengikuti pilkada, memiliki kesadaran seperti baris sajak yang
dibacakannya pada lomba tersebut.***