Jumat, 12 Oktober 2012

Lukisan Yang Menipu



Oleh Dadang Kusnandar


"Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu,
 tetapi gambar saya bisa menipu manusia"
(Raden Saleh)


UCAPAN itu terlontar ketika belajar melukis ke Belanda dan karyanya lebih bagus daripada pelukis-pelukis muda Belanda. Awal perjalanan yang menarik bagi proses eksistensi keseninaman Raden Saleh ternyata terbukti setelah melalui jasa pamannya hingga bersekolah melukis di Belanda. Bagai kisah yang merangkai dalam hidup seniman besar itu. Karya lukisnya tidak hanya dikagumi melainkan juga dipalsukan untuk kepentingan finansial dan popularitas seseorang.



Lukisan Raden Saleh yang berjudul “Badai”  bisa kita nikmati di Galeri Nasional Jakarta. Lukisan ini beraliran Romantisme. Dalam aliran ini seniman sebenarnya ingin mengungkapkan gejolak jiwanya yang terombang-ambing antara keinginan menghayati dan menyataka dunia (imajinasi) ideal dan dunia nyata yang rumit dan terpecah-pecah. Dari petualangan penghayatan itu, seniman cenderung mengungkapkan hal-hal yang dramatis, emosional, misterius, dan imajiner. Namun demikian para seniman romantisme sering kali berkarya berdasarkan pada kenyataan aktual.

Dari empat periodesasi kehidupan Raden Saleh, yang menarik adalah periode keempat, “Kesadaran Posisi”. Pelukis kelahiran Semarang itu  berhasil memadukan antara modal sosial, modal kultural, dan modal ekonomi secara ideal. Meski dinilai mampu mengalahkan pertarungan melawan diri-sendiri, kehidupan Saleh berakhir dengan kesepian. Ia pindah dari istananya yang mewah di Cikini, Jakarta ke desa Bondongan di kawasan Bogor. Di sinilah Saleh dan isterinya, Raden Ayu Danudirejo, dimakamkan. Periode inilah yang menjadi argumen Suwarno tentangn sikap patriotik Saleh. Pada 1857, contohnya, Saleh melukis Penangkapan Pangeran Diponegoro yang merupakan reiinterpretasi dari lukisan dengan tema yang sama karya pelukis Belanda Nicolas Pieneman. Sepintas, kedua versi lukisan itu sama saja. Tapi, ada beberapa perbedaan prinsip yang menunjukkan secara jelas pendirian Raden Saleh.

Suwarno memperlihatkan perbedaan-perbedaan di antara kedua versi. Antara lain, setting gedung dalam karya Saleh tidak berada di sebelah kanan, tapi di sebelah kiri dengan meniadakan gambar bendera Belanda yang terdapat pada versi Pieneman. Adegan dan gerak tubuh Diponegoro juga menggambarkan kondisi melawan. Yang menarik, dan ini tak asing dalam lukisan-lukisan Saleh lainnya, terdapat potret diri sang pelukis dalam lukisan ini. Beberapa pengikut Diponegoro juga digambarkan berwajah Raden Saleh.


Munculnya pertanyaan mengenai lemahnya nasionalisme Raden Saleh akhirnya menjadi kutub magnetis yang menyedot perhatian. Sebaliknya maestro lukis itu justru memperlihatkan betapa ia ingin sekali menjadikan diri sebagai laskar perang pada Perang Jawa di bawah komando Pangeran Diponegoro. Fakta lukisan fenomenalya bahwa beberapa pengikut Ontowiryo/ Hamengku Buwono IV/ Pangeran Diponegoro berwajah Raden Saleh sendiri, memperjelas keinginannya berontak kepada Belanda. Dan pemberontakan seorang seniman lukis  dituangkan melalui karya lukisnya. 

Pelajaran lain yang memperlihatkan nasionalisme Indonesia sang pelukis ialah fakta bahwa  rumah pribadinya di daerah Cikini dengan arsitektur dan interior gedungnya dibangun sendiri menurut teknik sesuai kebutuhan seorang pelukis, diserahkan kepada pengurus kebun binatang. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi Rumah Sakit Cikini Jakarta.
Lebih dalam mempelajari biografi Raden Saleh tampak bahwa beliau dekat dengan Kebun Raya Bogor. Artinya dekat dengan suasana botani, suasana tanaman langka, dan ciri khas Indonesia sebagai negara agraris. Kedekatan itu agaknya yang mempertautkan karya-karyanya yang natural. Lukisan kuda dengan detil yang tepat dan panorama keasrian Indonesia, misalnya lukisan berjudul “Badai”, meski masuk kategori beraliran romantisme namun badai yang terjadi di laut terinspirasi oleh fakta alam. Sesuatu yang sangat natural. Dengan kata lain Indonesia dalam pandangan Raden Saleh adalah Indonesia yang natural. Dan pembuktian naturalis itu tampak pada penguatan pertanian, lengkap dengan segala mekanisme, teknologi serta sistem yang diperlukan.

Kedekatan Raden Saleh dengan pendiri Kebun Raya Bogor, Prof. Caspar Reinwardt sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, membuka ruang imajinasi karya lukisnya dengan tema alam Indonesia. Alam terbuka dan telanjang (ketika itu) yang dekat sekali dengan suasana agraris. Suasana tersebut harus kembali dikedepankan saat ini supaya pertanian Indonesia tidak terus menjadi subordinasi negara lain.

Kembali ke awal tulisan, lukisan yang menipu, relevan dengan kenyataan tentang pribadi Raden Saleh yang mencintai Indonesia. Ia menipu kolonial Belanda dengan caranya sendiri, dan kita sebagai penikmat karya lukisnya sangat tidak beralasan apabila tetap mempertanyakan dengan sinisme, “Nasionaliskah seorang Raden Saleh?”.

APA yang pernah saya sampaikan pada diskusi seni rupa di Indramayu beberapa bulan ke belakang dengan mempertanyakan nasionalisme Raden Saleh, kiranya terjawab sudah. Bahwa pelukis pun memiliki cara tersendiri menuangkan gagasan nasionalisme dan keindonesiaannya melalui sapuan kuas bercat minyak di atas kanvas. Dan ini sudah dibuktikan Raden Saleh dengan cara yang nyeni. Artinya ia bukan antek Belanda, bukan kaki tangan kolonial, dan bukan seniman yang hanya secara pragmatis memanfaatkan ruang berkaryanya. Akan tetapi seorang yang memiliki sikap keindonesiaan yang patut ditiru. Setidaknya Taman Ismail Marzuki dan Rumah Sakit Cikini di Jakarta merupakan sumbangan sangat berharga bagi masyarakat.
Nasionalisme seniman dengan demikian masih menjadi tengara betapa sebenarnya setiap seniman tetap memiliki kecintaan dan rasa sayang kepada bangsanya.  Meskipun pada suatu masa sempat disangsikan bahkan terus dipertanyakan sebagai sebuah sikap yang kontradiktif serta kontraproduktif. ***


 

Rabu, 10 Oktober 2012

Merindukan Kota Lama Cirebon



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas

TUKAR guling bukan kambing guling, terlebih bantal guling. Walaupun sama-sama guling, tapi guling ini guling lain. Ada proses transaksi, ada jual beli, dan ada peniadaan. Tukar guling biasanya berlangsung manakala master plan suatu kota/ kabupaten diterjang oleh “kebijakan” kepala daerah. Tukar guling berlangsung karena keinginan membangun struktur kota/ kabupaten berdasar keinginan dan atau tuntutan pemasaran mutaakhirin. 

Tak pelak tukar guling harus merelakan proses peralihan menyangkut fungsi dan bentuk bangunan yang ditukar. Sebuah bangunan berlatar sejarah sekali pun harus “rela” ditiadakan, diratakan dengan tanah, lantas di atasnya berdiri bangunan lain dengan arsitektur baru. Dengan fungsi baru. Dan dengan aturan baru. Aturan yang dikeluarkan oleh kebijakan pemerintah daerah sambil berkelit di balik tuntutan pasar. Tuntutan yang berpatokan pada komersialisasi serta mengarah ke konsumerisme.

Inilah tuntutan pemasaran yang mutaakhirin itu. Kota Cirebon tahun 1982 berdiri sebuah pusat dagang atau departemen store pertama di Jalan Siliwangi. Merunut ke belakang pusat dagang sebagai kepanjangan/ cabang dari toko sejenis di Jalan Sunda Bandung ini, kabarnya antara lain berawal dari keinginan teman-teman Ikatan Pelajar Mahasiswa Warga Tjirebon (Ipmawati) di Bandung. Di Bandung Ipmawati berkumpul dan mengajukan keinginan tersebut kepada kepala daerah. Cerita lisan pegiat Ipmawati ketika berawal manakala Ketua Umum Ipmawati dipegang oleh anak seorang pejabat teras Kota Cirebon.

Semula keinginan organisasi mahasiswa itu hanya sebatas adanya pusat pertokoan di Kota Cirebon. Namun dalam perkembangannya, departemen store tersebut berhasil melebarkan sayap bisnisnya hingga mampu membeli bangunan bersejarah di Jalan Karanggetas. Keberhasilan proses tukar guling ini pun terus melanda ke bangunan bersejarah lain di dekatnya. Lalu bangunan bersejarah eks Korem 063 Sunan Gunungjati setelah beralih kepemilikan kepada Pertamina itu beralih tangan kepada business man. Demikian pula bangunan bersejarah eks Polwil III Cirebon yang salin rupa menjadi pusat dagang. Termasuk tukar guling stadion Gunungsari  dan fasilitas olah raga sekitarnya yang berganti wajah menjadi pusat belanja/ mal. Sebagai catatan kecil, Bung Karno pernah berorasi di Stadion Merdeka Gunungsari pada tahun 1957.

Bangunan cagar budaya yang dapat sewaktu-waktu beralih fungsi dan bentuk menjadi pusat bisnis, di era tersebut melanda Kota Cirebon. Sejarah seakan berjarak dan menjadi tidak penting serta mudah dikalahkan keinginan berbisnis, keinginan adanya sebuah bangunan megah untuk mengumpulkan pembeli dan pedagang. Lalu muncul istilah pasar modern dan pasar tradisional. Lantaran daya pikat pasar modern lebih unggul maka pasar tradisional pun perlahan tergusur. 

Alih fungsi bangunan bersejarah ke bangunan bisnis di Kota Cirebon pada tahap berikutnya semakin dikuatkan oleh keinginan kepala daerah dengan ide “Cirebon Kota 1000 Mal”. Sulit dibayangkan dan sulit digapai memang. Akan tetapi ide tersebut bagai menjustifikasi berlangsungnya tukar guling bangunan bersejarah. Mungkin karena sejarah hanya merupakan masa lalu dengan sendirinya ia harus tunduk pada peraturan baru seiring kebutuhan manusia bertransaksi secara nyaman. Namun alasan ini sebenarnya mengada-ada. Bukankah jikalau ingin membangun pusat perdagangan tidak serta merta menggusur bangunan bersejarah? Justru menarik apabila bangunan bersejarah berdampingan dengan pusat bisnis.


Keprihatinan teman-teman yang konsern pada sejarah, pada bangunan cagar budaya, seakan dibiarkan menguap bagai asap dari sebatang rokok. Bahkan asap itu mengganggu kesehatan terutama perokok pasif. Berangkat dari hal ini maka asap rokok sebagai metafora keprihatinan serta kepedulian sejumlah orang harus ditiadakan. Biarlah sejarah itu berakhir. Biarlah bangunan bersejarah cukup hanya menjadi catatan dan foto/ gambar dan tersimpan dalam kenangan. Zaman kini menuntut adanya keberanian membongkar yang lama lalu menggantikannya dengan yang baru.

Betapa kita cemburu kepada penataan Kota Lama di Semarang atau Jakarta. Kecemburuan karena Kota Cirebon yang juga layak ditambatkan sebagai kota tua, bangunan bersejarahnya hamper punah. Beberapa yang tersisa seharusnya dipertahankan dan tidak mengubah arsitektur aslinya, agar generasi berikut masih dapat menikmati bangunan bergaya art deco dengan lanskapnya yang menarik.

Tulisan singkat ini hanya bisa berharap semoga bangunan PT British American Toobaco (BAT) di Jalan Pasuketan tidak berubah arsitekturnya, sebagai bangunan bersejarah yang tersisa di Kota Cirebon. Bangunan bekas pabrik rokok warisan kolonial itu sudah tiga tahun menjadi milik perseorangan, milik pebisnis yang dapat sewaktu-waktu "menyulap" arsitektur gedung sesuai dengan keinginan serta kepentingan bisnisnya.***


Keterangan Foto:

Foto 1 : dari cirebonasli.blogspot.com
Foto 2 :  dari thearoengbinangproject.com

Selasa, 09 Oktober 2012

Khaul Abah Ayip Usman Yahya 21 Oktober 2012



Ente Mendi Bae?

Oleh Dadang Kusnandar

TAK ada yang tak kehilangan abah. Kita sebagai orang yang dekat dengannya hanya bisa memanjatkan do`a dan harapan kepada tuhan, semoga abah memperoleh karunianya di alam barzah. Tak ada yang tak sedih ditinggalkannya karena abah sangat peduli kepada masalah yang dihadapi orang-orang yang datang kepadanya. Siapa pun dia, abah tak pernah membedakan. Bahwa Abah Ayip Usman Yahya seorang yang egaliter, kita semua mahfum adanya. Dan bahwa abah bersikap empati kepada orang yang bermasalah, kita pun tahu.

Tak terasa hari Ahad 7 November 2010 dalam hitungan Masehi memasuki tahun kedua (dalam hitungan Qomariyah tahun 1433 H) pada Minggu 21 Oktober 2012. Dua tahun sudah pondok kehilangan abah, dan dua tahun sudah berlalu fisik abah dari hadapan kita. Tak ada lagi senyumnya, tak ada lagi sapaan khasnya, “Ente mendi bae?” Lalu apa yang terlintas di benak kita sepeninggal abah? Cukupkah ia kita gantungkan sebagai sepenggal kisah sunyi di balik riuh rendah Nusantara saat ini? Cukupkah abah kita tempatkan sebagai bagian masa lalu yang terlupakan? 

Tentu saja tidak. Ketika Johandi tiga tahun lalu mengatakan, “Saya punya rekaman ceramah-ceramah abah di pondok Kempek. Ayo siapa yang mau menuliskannya?” Seketika saya mengiyakan, bahwa saya siap menuliskannya tapi dengan bantuan teman-teman karena tidak mungkin memindahkan bahasa lisan menjadi bahasa tulis tanpa dukungan teman-teman. Tiga tahun lalu itu saya seperti tengah “berjihad” menunjukkan sikap yang seolah-olah hendak mengabadikan ceramah Abah Ayip Usman Yahya menjadi buku. Tiga tahun ke belakang, agaknya sikap demikian pun sempat muncul dalam pikiran teman-teman.

Namun nyatanya tak mudah mengerjakan sesuatu (yang dapat memberi pencerahan kepada umat) tanpa kesungguhan, tanpa dibarengi kekuatan tekad untuk menyediakan waktu dan tenaga bagi terealisasinya buah pikir abah dalam bentuk buku. Beruntung Fahmina Institute menerbitkan Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan di tahun 2008. Di tangan Marzuki Rais, Marzuki Wahid, Faqihuddin Abdul Kodir dan teman-teman lain ~buah pikir abah terdokumentasi melalui buku. Sementara buku kedua yang bertajuk Merajut Kebhinekaan Untuk Kemanusiaan yang diterbitkan Khatulistiwa Publishing, Februari 2011 pada Tahlil 100 hari lebih mencerminkan testimoni daripada buah pikir abah. Alhasil kita berharap terbit buku ketiga dengan fokus pemikiran abah terhadap satu hal. Materi pemikiran abah yang tersimpan di tangan Johandi dalam bentuk cd bisa dibuka sebagai referensi.

Itu sebabnya dua tahun sepeninggal abah dapat kita artikan sebagai waktu yang tepat untuk mulai kembali mengumpulkan ide-ide abah lalu dibukukan. Ide-ide abah yang terserak itu apabila dibiarkan maka selamanya akan terserak menjadi patahan-patahan saja. Sementara bila dipadukan maka pikiran-pikiran abah akan menjadi utuh, dan dapat disebarkan ke mana saja. Ide penulisan buku mengenai pikiran-pikiran abah semoga tak berhenti hanya pada keinginan. Waktu dua tahun kepergiannya sudah cukup untuk kembali bersungguh-sungguh menulis abah dengan pikiran abah oleh orang yang masih punya kesetiaan kepada abah.

Hasan Ma`arif menulis demikian tentang abah: Saya selalu akan menjadi santrinya karena hampir pada setiap perjumpaan dengan Beliau saya kerap banyak mendapatkan ilmu dan hikmah. Sangat banyak pencerahan yang saya dapatkan dari almarhum menyangkut banyak hal: Politik, Keislaman dan Kemanusiaan. Bahkan tentang kemanusiaan saya mendapatkan pemahaman yang sangat luas: Tentang posisi manusia di hadapan Tuhan, posisi manusia di antara manusia, dan posisi manusia di antara dialektika dengan alam sekitarnya, (Merajut Kebhinekaan Untuk Kemanusiaan, halaman 64). Dua puluh enam penyumbang tulisan testimoni tentang abah, saya yakin bisa dikaryakan kembali untuk buku abah berikutnya. 

Khaul tahun kedua Abah Ayip Usman Yahya yang kita cintai belum menghasilkan buku ketiga, namun demikian sangat mungkin akan hadir buku ketiga itu dalam waktu berikutnya. Misalnya menjelang 1000 hari wafatnya abah.

Pengertian dokumentasi menurut Paul Otlet pada International Economic Conference tahun 1905 adalah kegiatan khusus berupa pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penemuan kembali dan penyebaran dokumen.

Dalam Encyclopedia Britanica: dokumentasi adalah semacam pengawasan dan penyusunan bibiliografi, yang menggunakan alat-alat seperti seperti indeks, sari karangan dan isi bibiliografi di samping memakai cara tradisional (klasikal dan katalogisasi), untuk membuat informasi itu dapat dicapai.

Merujuk Federataion Internationale de Decomentation (FID), dokumentasi adalah: mengumpulkan dan menyebarkan dokumen-dokumen dari semua jenis-jenis mengenai semua lapangan pekerjaan manusia (documentation C’ est reunir, classer et distribuer des document de tout genre dans tours les domaines de L’ativite humaine).

Kegiatan dokumentasi melibatkan kegiatan pengumpulan, pemeriksaan, pemilihan dokumen sesuai dengan kebutuhan dokumentasi; memungkinkan isi dokumen dapat di akses; pemrosesan dokumen; mengklasifikasi dan mengideks; menyiapkan penyimpanan dokumen; pencari kembali dan penyajiannya.
 
Sehubungan masih banyak pengagum Abah Ayip Usman Yahya, sekali lagi saya tekankan bahwa teman-teman mampu dan mau merealisasikan pendokumentasian pemikiran beliau untuk dapat dijadikan rujukan melihat fenomena dan dinamika yang berlangsung.  Ini terwujud dengan keyakinan dan kekuatan untuk menempatkan abah sebagai sentrum, sebagai kutub magnetis yang menarik kumparan ke dalam kekuatannya.

Khaul

BILA anak cucu adam meninggal maka yang mengantar ada tiga yaitu shodaqotun jariyah, ilmu yang manfaat dan anak saleh yang mendo`akan. Yang dua kembali yaitu harta dan sanak keluarga dan yang tinggal (menemani) hanyalah amalnya saja.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap yang meniggal itu hanya membawa amal perbuatannya selama di dunia. Dan tidak dapat diragukan bahwa orang-orang yang masih hidup itu diberikan kewajiban mendo’akan orang-orang yang telah meninggal dunia. Maka dari itu, dalam rangka mengirimkan do’a kepada orang-orang yang telah meninggal terutama sanak keluarga yang telah berpulang dilaksanakanlah peringatan Khaul, karena tidak ada yang ditunggu-tunggu oleh mereka yang ada di alam barzah kecuali kiriman do’a dari kita yang masih hidup.


Itu adalah manfaat khaul bagi orang yang telah meniggal. Lalu untuk kita yang masih hidup adakah manfaatnya? Di antara manfaatnya adalah sebagai nasehat dan mengingatkan kita akan kematian. Mungkin bila kita mendengarkan ceramah Ustadz, Kyai, Ulama ternama atau Habibullah tentang nikmat surga, dalam diri kita merasa tenang dan senang kala itu dikarenakan membayangkan nikmat tersebut. Namun jika telah kembali ke dalam kehidupan dan rutinitas kita masing-masing maka lupalah itu semua. Begitu pula ketika  diceritakan betapa pedih dan mengerikannya neraka maka kita langsung merinding, bahkan sampai meneteskan air mata memohon perlindungan pada Allah agar terhindar dari yang demikian, tapi setelah meninggalkan majelis itu kita sudah berubah lagi seperti sedia kala.


Ini sangat berbeda dengan nasehat akan kematian, ia akan melekat setidaknya lebih lama dalam diri kita. Bila anda mendengar tetangga anda meninggal dunia padahal kemarin ia sehat dan bugar badannya, sementara anda sedang dalam keadaan sakit, yang terlintas dalam pikiran anda adalah “Waduh dia yang sehat aja mati, jangan-jangan sakit saya ini pertanda kalau saya mau mati.” Atau mungkin jika ada katil atau kurung batang (keranda) lewat didepan rumah anda, yang terlintas dalam pikiran anda, “Gue besok juga akan naik demikian,  padahal gue punya mobil tapi tetep aja gue dibawa pake demikian itu.” Hilanglah kesombongan anda dan kecintaan anda akan dunia karena mengingat yang demikian.



Mengutip blog Ni`mah Izzah Rachiem,:  Khaul artinya peringatan ulang tahun meninggalnya seseorang yang dalam praktiknya istilah khaul itu “hanya” dipersembahkan untuk tokoh-tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakatnya dan bukan untuk warga masyarakat umum. Arti penting dari upacara-upacara khaul itu ialah : pertama, meneguhkan perasaan hormatnya santri dan masyarakat sekitarnya akan peran dari figur kyai yang bersangkutan. Pada konteks ini, terutama bagi santri-santri, menghadiri khaul kyai mereka sama artinya dengan meneguhkan silsilah atau mata rantai keilmuan. Peneguhan itu semakin kentara dalam jamaah tarekat. Arti kedua dari acara khoul adalah pertemuan alumni. Pada acara temu alumni itu, bukan saja masing-masing alumnus bisa tukar pengalaman dalam kaitannya dengan perjuangannya menyebarkan ilmu di daerahnya masing-masing tetapi juga mempererat hubungan batin antaralumni dan antara alumni dengan badal atau wakil-wakil kyai, yang umumnya adalah putra-putra kyai sendiri atau kerabat dekatnya.

Dan arti penting ketiga dari khaul adalah keteladanan. Pada setiap acara khaul kyai, sebetulnya secara tersirat mengingatkan kembali kepada figur dan prestasi yang disandangnya. Kealiman dan ketakwaan sang kyai tersebut kemudian dijadikan acuan keteladanan bagi generasi berikutnya. Semoga peringatan khaul Kyai Syarif Usman Yahya ini menjadi momentum bagi kita untuk meneladani dan merefresh ajaran-ajaran beliau, bukan sekedar upacara simbolik yang kering makna. Amiiin...

Mata rantai keilmuan, atau sebutlah ilmu yang bermanfaat yang terus dibawa abah kea lam barzah pada akhirnya menjadi dambaan kita. Agar pikiran-pikiran abah yang terserak itu disatukan dan diakumulasi pada sebuah karya. Mengingat kecenderungan teman-teman untuk menuliskan pemikiran abah saat ini masih kuat, sungguh tidak keliru apabila untuk mengukuhkan mata rantai keilmuan abah kita realisasikan.

Beberapa Hal

KONDISI umat saat ini ditambah iklim politik yang terus menggoda untuk dicermati, tak pelak juga menjadi pemikiran Abah Ayip Usman Yahya. Sejak abah menjadi santri Kempek Ciwaringin Cirebon dan Pesantren Lirboyo Kediri, pada usia muda abah sudah mengenal dunia politik. Saat berstatus mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Kediri tahun 1964-1965, juga aktif di organisasi kepemudaan NU Kediri Jawa Timur ~abah sudah pandai memotret politik Indonesia saat itu. Kepandaian inilah yang mengantarkan abah ke kursi DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa 1999-2004.

Sejalan dengan itu saya yakin ceramah-ceramah abah dalam cd pun “menyenggol” persoalan politik yang up to date ketika itu. Tak ada salahnya jika kembali dipaparkan kepada umat, minimal untuk bahan renungan atau sejumput ingatan kecil mengenai guyon abah ketika membicarakan masalah politik dengan sudut pandang seorang kiai. Bahwa abah dikenal ramah kepada siapa pun membuahkan hasil yang bersifat politis, dan ini merupakan modal awal sebuah tata pergaulan sosial yang dibentuk bagi kemaslahatan umat. 

Dengan kata lain dua buku yang bertutur tentang abah masih belum cukup untuk mengetahui kedalam pikirannya. Jadi harus ditambah oleh buku berikutnya dengan penuturan yang lebih detil pada pemikiran abah. Saya kira inilah pentingnya khaul. Sebagaimana diajarkan dalam sebuah ayat Qur`an yang berawal dari kisah Nabi Ibrahim: Jadikan aku buah tutur yang baik. Qur`an Surat Asy-Syu`ara (26) ayat 83-87: “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang memusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.”

Memperhatikan kondisi zaman kini, mempertimbangkan kegamangan sejumlah orang atas ketakmampuan mengambil sikap pada sebuah masalah, menatap NU dan Indonesia dan sebagainya akan kita peroleh dari buah pemikiran abah yang bening. Pemikiran abah yang berangkat dari pentingnya menjaga harmonisasi, mau tidak mau akan lengkap apabila kita berupaya untuk mendokumentasikannya. Meski pemikiran abah berlangsung pada saat itu namun bisa kita tarik pelajaran dan hikmah untuk diadaptasi dengan kondisi kekinian. Dan meski pun pemikiran abah merebak ke mana-mana ~semua itu merupakan hidangan ruhani yang berharga. Setidaknya supaya kita kembali menempatkan abah tidak sekadar sepenggal kenangan. Tidak semata-mata dengan do`a yang takzim. Serta tidak hanya dengan bacaan tahlil pada peringatan hari wafatnya.***