Sabtu, 28 Juli 2012

Kelakar Kebo dengan Petani



Oleh Dadang Kusnandar

BeningPost.com  28/07/2012 21:28:50 WIB

KEBO ternyata memiliki banyak nama dan alasan pemberian namanya. Kebo yang terkenal di Indonesia antara lain bernama Kebo Sibuya.  Olok-olok kepada sang presiden. Seekor kerbau yang dibawa pengunjuk rasa dalam aksi memperingati 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono pada 28 Januari lalu membuat Presiden SBY tersinggung. Presiden menganggap cara unjuk rasa seperti itu tidak pantas. Pada tubuh kerbau ada coretan cat berwarna putih bertuliskan "SiBuYa".
Kebo SiBuYa populer dan dipopulerkan sejak 3 Januari 2010. Masyarakat politik terkekeh mendapati fakta itu. Joke politik kadang keterlaluan. Namun menyenangkan. Orang melihat humor politik sebagai pelepas ketegangan. Kesalahan dan kecelakaan politik menjadi parody dan ditertawakan. Begitulah Kebo “SiBuYa” mendadak populer. 

Membicarakan kerbau alias kebo, kita teringat pada tabiat kebo yang menjengkelkan. Tidak produktif, malas, doyan tidur, padahal tenaganya kuat. Satu lagi, jatah makannya banyak. Jika asupan nutrisi kebo kurang semakin malas bekerja. Saya tidak tahu persis seperti itukah Kebo SiBuYa? Bila benar seperti itu, maka kondisi Indonesia seperti sekarang berlangsung karena kesalahan kebo memanage negara, yang berawal dari diri sang kebo.  Kerbau juga, pinjam kata-kata Yosef Rizal, Koordinator Pemuda Cinta Tanah Air (Pecat), jika Presiden memaknai pesan dari simbol seekor kerbau itu adalah pemimpin gemuk yang malas dan bodoh, itu adalah hak Presiden. "Kerbau itu adalah simbol yang punya seribu makna, terserah orang memaknainya. Kalau SBY memaknai sebagai simbol pemimpin yang gemuk, malas, lamban meski sudah dipecut, itu terserah dia," ujarnya.

Kerbau menurut orang pintar  adalah binatang memamabiak yang masih termasuk dalam subkeluarga bovinae. Kerbau liar atau disebut juga Arni masih dapat ditemukan di daerah-daerah Pakistan, India, Bangladesh, Nepal, Bhutan, Vietnam, Cina, Filipina, Taiwan, Indonesia, dan Thailand. Sebenarnya kerbau mempunyai fungsi sebagai penghasil susu dan daging juga sering digunakan karena tenaganya yang kuat. Di Minangkabau, Sumatera Barat, susu kerbau juga diolah menjadi dadiah (sejenis yoghurt). Kotoran kerbau dapat digunakan sebagai pupuk atau bahan bakar jika dikeringkan.  Di posisi manakah Kebo SiBuYa, terserah pembaca menilainya.

Tapi tulisan pada bulan mulia Ramadhan 1433 Hijriyah ini,  mengingatkan pada cerita kakek di sebuah kampung Kabupaten Cirebon. Sekira delapan cucu kakek (termasuk penulis) duduk lesehan di tembikar rumah sederhana kakek. Lalu kakek yang berpangkat sersan satu TNI AD itu bercerita kepada kami. Sebelumnya kakek menyalakan strongkeng alias petromax di ruang tengah. Rumah kakek yang benderang malam itu menuturkan kisah seekor kerbau yang berdialog dengan majikannya. 

Begini cerita kakek. Pada jaman dahulu kala, tersebu tlah seorang petani yang memiliki seekor kerbau jantan. Pagi itu pak petani akan membajak sawah. Kerbau gemuk pun dikeluarkan dari kandang lalu dituntun ke sawah yang berjarak 600 an meter dari rumahnya.

Di perjalanan, kerbau  bertanya kepada petani, "dingin ya pak?".
"iya", jawab petani.
"sama dong, saya juga dingin", sambung kerbau.
Setiba di sawah kerbau dengan giat membajak sawah petani. Kerbau di depan dan petani di belakangnya mengendalikan arah pijakan kaki kerbau ke tanah sawah agar gembur dan mudah ditanami bbit padi.
Waktu terus merangkak siang. Kerbau berkeringat. Petani juga berkeringat.
"Cape yang pak?", tanya kerbau.
"Iya".
"Berkeringat ya pak?", lanjut kerbau.
"Iya".

Dari kejauhan terdengar suara adzan. Mungkin karena toa mesjid baru diservis maka suara pak Darsono terdengar begitu nyaring ke sawah dan seluruh desa.
Seketika kerbau bertanya, "Suara apa itu pak?".

"O......itu suara adzan. Mengajak kepada setiap orang muslim untuk melaksanakan shalat", jawab petani.
Kerbau pun melanjutkan pertanyaannya, "Pak tani shalat tidak?".
"Tidak", jawab petani spontan.
Tak disangka kerbau meneruskan omongannya, "Saya juga tidak!".

Kerbau pun terus berkata, "Kita memang sama pak petani. Sejak keluar dari rumah menuju sawah, sama-sama kedinginan, setelah bekerja sama-sama berkeringat dan capai, lantas ketika adzan memanggil untuk shalat -- kita tidak melakukan shalat".

DUA versi kerbau pada ulasan singkat di atas setidaknya bisa member kebijakan kita untuk tidak menilai tanpa mempertimbangkan aspek lain sebagai daya dukung. Hal ini perlu supaya apa yang kita sajikan senantiasa dapat dipertanggungjawabkan. Minimal teringat pada sebuah ayat Tuhan, “wala takfu maa laisa laka bihi `ilmun” (dst, al ayah QS Al Isra : 36), “dan janganlah kamu ikuti ilmu yang tidak diketahui”. Kelanjutan ayat tersebut menyangkut pendengaran, penglihatan, dan hati tentang pertanggungjawaban perbuatan. 

Ya, seperti kebo SiBuYa atau kerbau yang asik berkelakar dengan majikannya sejak pagi buta dituntun keluar kandang, memasuki dingin yang menusuk tulang tua sang petani. Dua kerbau dalam ulasan di atas mengajak kita untuk tetap sejuk pada Ramadhan ini. Kritik dan pujian terhadap dua kebo dimaksud merupakan persambungan fenomena sosial politik dan keagamaan yang terjadi di negeri kita. Negeri yang tidak mengetahui data statistik kerbaunya.***
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Senin, 16 Juli 2012

Mata Oase Cinta

mata indah itu kini memandangku
dengan kekuatannya
mata yang kurindu....

saksi bukit,
dekap erat ketika malam luruh.....
torehkan luka,
tapi mata itu terus terjaga

di balik bening bola mata
di seberang gundah merajah senyap
di hening jiwa
ingin kumiliki mata itu

Dadang Kusnandar
Cimahi - Cirebon, 16 Juli 2012




Berkata pada angin yang berisik


musim panas belum lepas
angin berisik kala malam
dedaunan yang tersibak

berkata pada malam yang berisik
kupeluk engkau sayang
kubelai rambut indahmu

jemarimu asik menari di atas tuts
piano jiwa rekatkan rasa
pada malam yang berisik
kuingin
bahagia berpagut
di bibir kita
yang merindu


Dadang Kusnandar
Cirebon, 17 Juli 2012

Senin, 09 Juli 2012

Jika Kebudayaan Sebatas Krupuk

Dadang Kusnandar* - BeningPost

09/07/2012 15:17:00 WIB

Kebudayaan sebagai bidang strategis kajian negara, hingga sekarang masih diletakkan sebagai krupuk dalam sajian makanan. Dan sebagaimana hal krupuk, ia hanya menjadi penyedap rasa; boleh ada dan boleh tidak. Tanpa krupuk pun, makan dapat dilakukan. Jika kebudayaan saja (meminjam ujaran Dedi Gumelar alias Mi`ing) sebatas krupuk, lalu di manakah letak kesenian kreatif?

Pertanyaan yang menggugah sekaligus miris, betapa kesenian tetap menjadi subordinat. Tidak penting. Kesenian “penting” hanya sebagai kolase manakala mengiringi peristiwa politik. Kunjungan pejabat negara atau petinggi politik diiringi tetabuhan musik tradisi dan gerak gemulai penari, sang pejabat dikalungi rangkaian bunga melati, memperoleh anugerah atau penghargaan sebagai warga kehormatan suku tertentu ~ kebudayaan (dan kesenian) tampak penting. Tanpa kesenian pun upacara seremonial tetap bisa dilaksanakan.

Kesenian menjadi tidak penting dan marjinal. Ia berjalan terseok-seok, tak mampu berdiri tegak lurus dengan langit. Di tengah ketidakmampuan itu, kesenian juga harus berhadapan dengan problem internalnya. Dari kegemaran seniman menjual alat kesenian miliknya hingga kematian kesenian ketika desakan dan kebutuhan ekonomi terasa demikian mencekik. Beberapa kesenian lokal tak mampu lagi menampilkan kreasinya lantaran desakan/ tuntutan pemenuhan ekonomi tak pernah bergeser sejengkal pun.

Tahun lalu, saya kerap menerima pesan pendek seorang dalang wayang kulit Cirebon. Dalang muda itu menanyakan, adakah bantuan pemerintah untuk kembali menghidupkan wayang kulit warisan orang tuanya. Ia juga berharap bisakah pemerhati kesenian, aktivis dan penggagas ide kesenian membantu bagi perolehan seperangkat gamelan plus wayang kulit Cirebon. Mendapati kenyataan itu, beberapa teman pun saya forward isi pesan pendek (SMS) tersebut kepada pejabat terkait. Jawaban pun didapat: anggarannya belum ada. Sang pejabat juga menulis SMS, “Kejadian seperti itu hampir melanda semua grup wayang kulit Cirebon. Masalah keluarga misalnya bagi waris tak urung melego alat kesenian”. Hanya seorang dalang wayang kulit Cirebon yang bertahan, Haji Mansur dari Desa Gegesik Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon, imbuh pejabat di atas.

Benar adanya, dalam bincang dengan Sang Dalang muda, diceritakan masalah utang piutang keluarga senilai jutaan rupiah. Keluarga tidak mampu membayar, daripada menanggung rasa malu maka peralatan pentas wayang kulit Cirebon itu yang telah digadaikan berkali-kali akhirnya dijual. Tragisnya, utang belum lunas. Keluarga pewaris kesenian lokal wayang kulit Cirebon itu dalam keadaan tidak memiliki perangkat pentas, selain masih menangguk hutang, kini telah kehilangan kesenian lokal warisan orang tuanya.

Beruntung, Dalang muda itu diraih grup kesenian Sanggar Sekar Pandan. Sanggar di bawah pimpinan Elang Heri Komarahadi itu suka melibatkannya pada pentas seni tradisi Cirebon. Perannya tetap, dalang wayang kulit Cirebon. Tapi beruntungkah Pulana yang berusia 17 tahun itu saat ini? Beruntungkah keadaannya ketika untuk sebuah pentas ia harus menjadi subordinat grup kesenian lain? Ia tidak menjadi diri sendiri karena ketidakmampuannya bertahan di tengah desakan ekonomi.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia

Penambahan bidang kerja ekonomi kreatif di Kementerian Pariwisata sebaiknya melakukan rekapitulasi kesenian kreatif, terutama grup kesenian yang harus ada dan dipertahankan sebagai budaya Indonesia yang blingsatan jika diakui sebagai milik Malaysia. Di bawah komando Marie Elka Pangestu yang berpengalaman itu, kementerian ini semog a tidak luput pada masalah substansial yang melanda kesenian. Kementerian yang sudah pasti mencanangkan rencana strategisnya sebagai berikut:
Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010-2014

Dalam rangka perwujudan amanat Peraturan Presiden RI no 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 serta sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional bahwa Pimpinan Kementerian/Lembaga diwajibkan menyusun Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang yang merupakan penjabaran dari visi dan misi Kementerian/Lembaga dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional secara menyeluruh.

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) telah menyusun Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010 " 2014 (Renstra Kembudpar 2010 " 2014) yang memuat visi, misi, nilai-nilai, penilaian dan kajian lingkungan eksternal dan internal, tujuan, sasaran dan faktor kunci keberhasilan, serta strategi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dari tahun 2010 sampai dengan 2014 sebagai upaya memberikan informasi yang akuntabel dan terpercaya manyangkut program dan kegiatan untuk mencapai target dan sasaran pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan nasional.

Dalam perjalanan waktu, Renstra tersebut mengalami revisi atau penyempurnaan. Review Renstra ini disusun untuk lebih mempertajam arah kebijakan, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, khususnya dengan memuat indikator kinerja untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan kinerja di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Dengan berpedoman dengan Renstra ini, seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dapat menyelenggarakan kegiatan secara lebih sistematis, konsisten, dan seimbang sehingga pencapaian kinerja rencana strategis yang telah ditetapkan ini dapat dengan mudah diukur. (dikutip dari www.budpar.go.id)

Berharap seniman Indonesia mengetahui keberadaan lembaga ini secara jeli, bukan hanya pemain panggung yang bangga dengan tepuk tangan dan penghargaan berupa piala, uang, sertifikat, dokumentasi melalui dunia maya atau keping DVD, cinderamata berupa vandel artistik ~ seniman harus menunjukkan karya primanya. Mutualisme yang terjalin antara seniman dengan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif ini, dalam ukuran sederhana adalah transparansi di bidang pengadaan barang dan jasa. Sub bagian yang potensial melahirkan korupsi.

Menanggalkan harap kepada seniman yang mampu melaksanakan tugas keseniannya, semoga pada saatnya kesenian tidak terus menerus menjadi kemasan kegiatan politik dan kenegaraan belaka. Kalau pun harus tampil pada acara tersebut, kesenian tidak dalam posisi subordinat. Tidak di bawah kekuasaan negara yang bisa sewenang-wenang mengarahkan materi kesenian sesuai pesanan. Kesenian tradisi yang tampil pada kampanye Pilkada DKI, pemilihan umum legislatif 2014, pada pemilihan presiden 2014: sudahkah ia tidak setara dengan krupuk sebagaimana disinggung Mi`ing?


*Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Kamis, 05 Juli 2012

Lelaki di Kaos Sumanta


(Keterangan gambar: dari google, tidak tega unduh dari koleksi foto pribadi)


Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon


SUMANTA dengan kaos putih bergambar lelaki berjas dasi dan berkopiah, melangkahkan kaki dengan senyum dikulum. Selembar uang Rp 50.000,00 dan tiga bungkus rokok kretek kesukaannya diperoleh melalui kebaikan seseorang yang baru dikenalnya. Tanpa harus mengayunkan kapak atau mencangkul di kebun, Sumanta dapat rejeki. Modalnya murah sekali, cukup datang ke aula balai desa, duduk dan mendengar “ceramah” bapak berjas dasi dan berkacamata. Dua jam lebih ia takzim menyimak isi pembicaraan, meski tidak satu kalimat pun Sumanta bicara.

Sumanta, lelaki polos 30 tahunan itu memperhatikan ulah Bapak Etmah. Pendidikan formal Sumanta yang mentok di tingkat SMP, memungkinkannya memperhatikan gaya berjalan Bapak Etamah serta kelakuan orang di sekitarnya. Ia melihat dan menyunggingkan senyum ketika melihat lelaki berpakaian jenis baju koko dan berkupluk hitam membukakan pintu mobil Bapak Etamah. Sumanta hampir terkekeh manakala laki-laki baju koko yang turun lebih awal dari mobil Bapak Etamah menunduk dengan hormat dan menyodorkan telapak tangannya sambil berkata, “Silakan pak haji, warga sudah menunggu”. Lelaki berperut gendut turun dari mobil mengkilat, langkah kakinya diatur agar tampak berwibawa, dan telepon genggamnya sering berdering.

Pak Kuwu membuka acara dengan menyampaikan ucapan selamat datang, memperkenalkan Bapak Etamah kepada warga desanya, dan mempersilakannya bicara. “Balai desa ini sekarang milik bapak”, kata pak kuwu, sumringah. “Saya berjanji akan bersungguh-sungguh membangun desa ini. Jalan semuanya akan diaspal. Pembagian beras akan didata ulang karena selama ini ada ketidakberesan dalam distribusinya. Banyak warga miskin desa ini yang tidak kebagian. Dan saya dengar dari tim sukses saya, oknum pengurus desa memperoleh beras miskin lebih banyak”, papar pria berkopiah hitam itu. Tepuk tangan menggema di ruang benderang itu.

Aula balai desa yang biasanya temaram, malam itu benderang. Penerangan seribu watt berbagai jenis dan ukuran lampu menghidupkan balai desa. Pedagang dadakan pun tampak sibuk di halaman balai desa. Kuwu, sekretaris desa, carik, mantri air, dan staf desa hadir sambil tak bosan menebarkan senyum. Sesuatu yang langka karena selama ini kuwu desa itu dikenal jaim (menjaga image). Aula balai desa di sebuah sudut kabupaten bulan-bulan ini sering disinggahi bapak murah senyum dan mengenakan jas dasi dan berkopiah.

Pengusaha
Cerita klasik bahkan teramat biasa yang terjadi menjelang berlangsungnya pemilihan kepala daerah di Indonesia. Cerita pembuka ulasan singkat tentang janji yang membuai, mulut berbusa, poster, baliho, uang politik yang beredar ~mengingatkan pertama, jangan anggap remeh orang desa. Meski pun berjarak cukup jauh dari pusat kabupaten, teknologi telah masuk ke ruang privat. Dengan hand phone di genggam tangan, Sumanta atau A`op dapat mengetahui ulah Bapak Etamah. Sekali klik google warga desa membaca perilaku siapa pun yang ia terakan namanya di kotak masuk pencarian google. Gambar subjek pun dengan gampang dipelototi, jika mau.

Bahwa Bapak Etamah seorang kaya raya dari luar kabupatennya, Sumanta paham. Bapak Etamah punya sawah hektaran, mobilnya lima, dan pengusaha sukses di Jakarta ~Sumanta pun mahfum. Celakanya, Sumanta juga paham bahwa Bapak Etamah ternyata seorang pengusaha yang tidak taat pajak, yang menggunakan uang CSR bagi kepentingan kampanye keliling desa di kabupatennya. Tapi tak mungkin Sumanta melaporkan penyalahgunaan uang CSR milik Bapak Etamah. “Uang itu miliknya, terserah untuk apa ia gunakan”, gumam Sumanta.

Berkawan dengan Kang Bakri, aktivis dan peggiat LSM, Sumanta memperoleh info yang diterimanya melalui pesan pendek (padahal kalimatnya panjang dan sering tertulis: sebagian teks hilang) dan telepon Kang Bakri. Informasi mengenai Bapak Etamah yang maju ke arena pilkada di kabupatennya lantaran dekat dengan petinggi sebuah partai politik di Jakarta. Kedekatan yang dibangun berdasar jumlah sumbangan yang biasa diberikan kepada parpol itu. Kedekatan personal dan emosional itu pun lalu berbuah ucapan sejuk dan menyenangkan, “Bapak Etamah kalau mau jadi bupati, silakan. Partai kami menjunjung tinggi demokrasi”.

Ujaran petinggi parpol tanpa kekuatan hukum positif yang berlaku di Indonesia itu dimaknai Bapak Etamah sebagai kata persetujuan alias dukungan parpol itu kepadanya. Maka bersibuklah ia membentuk tim sukses, mematut-matut penampilan di depan publik, mempertontonkan keahlian yang hanya sediit orang mampu melakukannya, membagi kaos bergambar dirinya, membersihkan sungai yang mampat, memasang poster-spanduk-baliho, giat menerima wawancara dan pasang iklan di media cetak elektronik. Tak pelak lagi, Bapak Etamah menjadi ikon penting, setidaknya saat ini.

Ia menjadi penting karena kepentingan sejumlah orang yang medekatinya dapat terealisasi. Ia pun penting lantaran jam kerjanya bertambah, otomatis frekuensi jam tidurnya menurun tajam. Dan supaya tampak selalu segar ~mana mungkin calon kepala daerah tubuhnya loyo, pikir Bapak Etamah~ ia rajin mengkonsumsi suplemen obat tertentu yang dibeli timnya. Suplemen obat jenis herbal yang dibeli sebagai “transaksi” politik.

Ambigu
Perpindahan perilaku seorang pengusaha ke perilaku politik cukup aneh. Bagaimana Bapak Etamah yang semula pandai menghitung uang, menggunakan uang untuk kemajuan perusahaan, pandai menjalin komunikasi bisnis dengan kolega dan teman sejawat ~seketika dipaksa memasuki area baru yang abu-abu. Area yang bernama politik.

Gelar pak haji yang melekat pada namanya, sebelum menekuni politik dijaga erat-erat. Bapak Haji Etamah terkenal sebagai lelaki yang enggan menyampaikan pemberiannya (shodakoh) secara terbuka. Takut menjadi ri`ya dan tertolak pahalanya oleh Tuhan. Suatu ketika Bapak Haji Etamah pernah berujar, “Mengutip `alamah Imam Al Ghazali, ri`ya adalah syirik kecil. Dan syirik tidak dimaafkan Allah swt”. Bapak Haji Etamah yang sudah lebih enam bulan berkeliling dari satu desa ke desa lain, dari satu restoran ke restoran lain, dan presentasi rencana kerja yang akan digarapnya bila terpilih menjadi kepala daerah itu bagai terpaksa mengungkap jasa baiknya ke hadapan publik. Simpel saja, ia berharap hadirin pada pertemuan itu memberikan suara politik baginya.

Dunia usaha dan dunia politik jelas berbeda. Tapi kini Bapak Haji Etamah cukup mengerti cara menautkan dunia usaha ke area abu-abu itu. Referensi pun dicari melalui tim suksesnya supaya lebih taktis dan strategisnya lagi langkahnya menuju “kursi panas” orang nomor satu di dearah tingkat dua. Politik yang mau tidak mau kini merupakan santapan tiap detik bagi Bapak Haji Etamah merupakan keharusan. Tidak terbantah. Jumlah massa yang hadir mendengar “ceramah” jadi ukuran kampanye terbuka. Padahal dia tidak tahu kalau itu ulah tim suksesnya sendiri untuk menyenangkan tuannya.

Sangat mungkin jumlah yang hadir pada pertemuan politik tampak membengkak karena 50% terdiri atas tim suksesnya sendiri. Warga desa yang hadir, seperti Sumanta dan A`op, cukup jadi pendengar, boleh mengantuk, dan pulang membawa uang Rp 50.000,00. Bukankah Bapak Haji Etamah tidak kenal semua tim suksesnya, apalagi hingga ke tingkat desa? Ia kenal dekat dengan tim sukses yang biasa dan teramat sering berinteraksi dengannya.

Soalnya kemudian, peluang Bapak Haji Etamah memenangkan pertarungan politik yang secara reguler diadakan lima tahun sekali di kabupaten tempat Sumanta dan A`op tinggal itu ternyata belum mulus. Petinggi partai politik di Jakarta belum secara resmi mengeluarkan SK untuk kepentingan pemilihan kepala daerah tahun depan. Lelaki di kaos Sumanta itu masih misteri...........***

Kapak yang Terayun

Oleh Dadang Kusnandar

APA yang tergambar dari ayunan sebuah kapak? Ingatan kita melayang kepada pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tenaga penuh dan kuat. Ingatan kita melayang kepada keingian orang untuk bertahan hidup karena kayu yang dibelah kapak itu dapat dijual ke pasar, dapat pula digunakan untuk memasak dan kegiatan lain yang menopang hidup. Ayunan kapak, mengingatkan kita pada sebuah hadist Nabi Muhammad saw yang dikisahkan oleh Anas bin Malik ra. Alkisah, seorang laki-laki tengah baya (belum mencapai usia 50 tahun) dari kaum Anshar yang mendatangi Rasulullah Muhammad saw. Lelaki itu meminta sedekah agar keluarganya bisa makan hari itu. Dengan tersenyum lembut Rasulullah Muhammad saw bertanya, “Apakah engkau tidak memiliki sesuatu pun di rumahmu?” Peminta-minta itu menjawab, "Di rumah kami masih mempunyai selembar kain yang dipakai sebagian dan sebagian yang lain kami jadikan alas, serta gelas besar tempat kami minum darinya.” Kemudian Rasulullah meminta lelaki itu utk mengambil kedua barang itu.

Lalu kedua barang itu diperlihatkan kepada Rasulullah dan beliau melelangnya kepada para sahabat yang sedang duduk mengitarinya hingga laku terjual senilai 2 dirham. Beliau berkata lagi, “Belilah dengan dirham pertama ini makanan untuk kamu berikan kepada keluargamu dan dirham lainnya belilah kapak agar kau bs mencari nafkah dan bawa kepadaku.” Rasulullah meneruskan perkataannya, ”Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah dan setelah 15 hari, kau kemari lagi.”

Laki-laki itu pun segera berlalu. Dengan kapak yang dibeli dirham para sahabat nabi suci, ia mencari kayu dan menjual hasilnya ke pasar. Setelah 15 hari, ia mendatangi Rasulullah sambil membawa 15 dirham dari pendapatannya bekerja dengan menggunakan kapak.

Rasulullah saw dalam kisah ini, telah memberikan contoh bahwa membantu kaum dhuafa tidaklah cukup dengan memberikan makanan, tapi berilah jalan agar mereka bisa mencari nafkah. Rasulullah melarang sahabat dan umatnya untuk meminta-minta. Manusia hidup harus berusaha sendiri,mencari bukan berleha-leha menunggu belas kasihan orang lain. Dengan berusaha, tawakkal dan bersyukur, maka rezeki akan datang dengan cara yang tidak pernah terduga.

Kisah yang mengusik, bukan pemberian itu yang mendewasakan dan memandirikan seseorang, tetapi usaha dan kesungguhan melaksanakan peran khalifatullah fil `ardl

jauh lebih penting. Manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi pasti memiliki kemampuan berusaha, kemampuan untuk kemandirian dan lepas dari ketergantungan. Tragis pula bila ketergantungan itu berupa pemberian cuma-cuma, tanpa proses kerja, tanpa usaha keras.

Bapak membanting tulang, kalimat indah yang diajarkan semasa sekolah dasar dulu sesungguhnya memberi kejelasan tugas pokok dan fungsi seorang bapak, seorang suami untuk memberdayakan keluarganya. Kepintaran, fisik yang sehat dan tidak catat, keahlian pada bidang tertentu adalah karunia ilahi yang mesti didayagunakan. Jika tidak maka semua pemberian ilahi itu tidak bermakna apa-apa kecuali sifat malas untuk berubah. Malas menyiapkan diri menyambut matahari pagi dengan setumpuk kerja. Malas memposisikan diri di tengah pergaulan sosial. Kemalasan itulah, ibarat seekor kucing bila perut kenyang ia tertidur.

Kapak pada masa Rasulullah saw mampu mengubah nasib. Kapak saat ini memang tak semudah masa lampau. Ketika hukum perundangan tentang penguasaan hutan belum tertulis. Ketika penebangan pohon di jalan dan gang kecil pun mengacu ke peraturan daerah. Kapak pada masa Rasulullah saw ialah kapak yang bisa menebang pohon tanpa butuh selembar surat ijin dari pemerintah. Berbekal kapak satu keluarga keluar dari kemiskinan. Kisah kejayaan kapak yang sudah berakhir itu pada masa kini bernama kecerdasan, keilmuan, jejaring sosial, mungkin juga modal berupa uang dan barang. Kapak masa kini adalah kapak yang terayun dengan peraturan. Jika tidak diatur kapak itu bernama Kapak Maut Naga Geni 212 milik pendekar sakti Wiro Sableng, atau Kapak Merah yang sekira 10 tahun lalu menciptakan teror di jalanan Jakarta.

Kapak dalam teks sekarang ada pada diri kita. Kapak itu tinggal kita asah lalu ayunkan ke objek/ kayu yang akan dibelah. Lihatlah film-film country/ cow boys kerap menayangkan sang jagoam atau pemeran utama membelah kayu dengan kapak berlaras panjang. Penandaan pada fim itu, apa lagi namanya jika bukan kerja keras. Membangun keluarga, membangun rumah, membangun kesejahteraan, atau membangun diri sendiri. Bukankah semua berpusat pada diri sendiri?

Syukur Nikmat

Berbagai bantuan yang dibagikan pemerintah atas nama beras miskin, pengobartan miskin, jaminan sosial orang miskin dan sebagainya berbuah keanehan manakala sang penerima bantuan (dari APBN atau APBD) itu memiliki dua buah telepon genggam ( hp), motor, bahkan rumah. Mereka tidak merasa malu menerima berbagai lebel "miskin" sepanjang mendatangkan surplus baginya. Pihak pembagi, dalam hal ini pemerintah setempat pun menerima getahnya, niat politik membantu si miskin ternyata disalahartikan ~selain memang oknum pemerintah pun (biasanya tingkat kelurahan dan kecamatan) mengalokasikan lebel "miskin" itu secara tidak tepat sasaran. Celakanya lagi apabila bantuan atas nama orang miskin dikorup petugas.

Kapak dalam teks ini tidak kita dapatkan. Yang diperoleh adalah kayu yang langsung dapat digunakan tanpa bersusah payah menjualnya ke hutan. Kayu itu sudah bernama beras dan jaminan sosial kesehatan dan pendidikan. Fakta ini seharusnya bisa dihindari apabila pemerintah bersungguh-sungguh melaksanakan tugas menyejahterakan rakyat. Tugas itu antara lain mengembalikan fungsi “kapak” dengan berbagai metoda dan teori sederhana yang mudah dipahami. Jika pun harus mengeluarkan bantuan berupa uang, maka jangan tinggalkan begitu saja. Harus ada bimbingan managemen agar karya yang diayunkan “kapak” itu memperoleh pasar dan laku dijual. Dengan demikian terbina mutualisma antara yang dibantu dengan pihak yang membantu.

Jikalau saja peran “kapak” kembali sebagaimana dulu, kita berarti surut ke belakang. Kapak masa kini sebagaimana ditulis di atas adalah kemuliaan yang telah Allah swt berikan. Kita tak pandai mensyukuri kemuliaan itu. Dan pada ketidakpandaian itulah kecenderungan menerima (uang) seakan menjadi “primadona”. Tak perlu bersusah payah, datangi orang kaya lalu mintalah uang, selesai. Tidak. Islam tidak mengajarkan demikian. Islam mengajarkan tangan yang di atas (yang memberi) lebih mulia daripada tangan yang di bawah (yang meminta). Hadist ini secara gamblang mengingatkan sekaligus menampar, bahwa peran pemberi lebih utama dibanding penerima. Sebaliknya peran penerima adalah subordinasi dari kemiskinan, yang mungkin saja diam-diam berlangsung karena kita lebih senang menerima tanpa berbuat.

Yang patut diingat dari kisah kapak dan relasi antara pemberi dan penerima ialah : Jangan takut harta Anda berkurang apabila sering memberi (beramal)***

Minggu, 01 Juli 2012

Seniman dan Perang

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Seniman tidak mencipta untuk seniman: Ia mencipta untuk rakyat
(Adolf Hitler)


CATATAN ini terinspirasi kerja bagus teman-teman penyair, seniman ketika Sabtu 30 Juni 2012 yang baru lalu sukses menggelar acara launching antologi puisi 7 Jemari Penyair di Gedung Negara Cirebon. Ungkapan di atas disampaikan Hitler pada 18 Juli 1937 pada pidatonya di gedung yang dikenal sebagai Istana Kaca (Glaspalast) di Kota Munchen yang atas titahnya dibangun kembali dengan desain karya Paul Ludwig Troost. Tempat itu menjadi penting karena dibuka dengan "Pameran Seni Rupa Agung Jerman". Kata-kata Hitler punya gaung yang lebih luas dari yang diduganya sendiri karena ia lahir dan terbit dari naluri sebuah gerakan dan kekuasaan yang tidak terbatas hanya pada Partai Nazi.

Menjelang Olympiade Munchen 1936 Hitler menyebut tentang tibanya sebuah "Zaman Baru" dan "Umat Manusia Baru". Dan pidato terkenal di Haus der Deuschen Kunst itu nampak pada olympiade tersebut, dan itu berarti otot yg keras, kekuatan dan keindahan yang mengalirkan rasa baru kehidupan. Tak heran bila Hitler mengecam pelukis yang menampilkan karyanya berupa manusia cacat, laki-laki yang mirip hewan, perempuan berwajah buruk, atau anak-anak yang dianggap sebagai kutukan Tuhan.

Tahun gemilang kebangkitan Nazi ketika itu merupakan kehebatan mimpi Hitler untuk menampilkan Jerman yang perkasa. Ras Aria yang super hingga muncul genocyde atas kaum Yahudi ~meski pembantaian massal itu masih debatable~ pada mulanya adalah kebangkitan Jerman setelah kalah pada Perang Dunia I. Konon menurut Hitler, Jerman terpuruk lantaran kalah Perang Dunia I dan tak ada jalan lain bagi kebangkitan Jerman kecuali kemenangan perang berikutnya. Bagi Hitler, zaman baru itu, manusia baru itu adalah memenangkan sejumlah perang paling menakutkan sejak 1941 - 1943. Tentara angkatan darat Jerman tak terkalahkan saat itu.

Benarkah kemenangan sebuah peperangan menjadi ukuran kemajuan bangsa? Adakah sebenarnya ukuran kemenangan perang? Sejarah benarkah ditentukan oleh pemenang perang, oleh jendral yang berhasil memukul mundur lawan dan mengalahkannya secara telak, berhasil dalam penyerbuan/ ekspansi ke negara lain? Akan lahir zaman baru, demikian imajinasi pria pendek berkumis lucu itu.

Hitler adalah orang yang pandai bersiul, ujar seorang teman di Jakarta. Selain mampu memainkan harmonika dan flute, ia pun pandai menyanyi, namun bersiul adalah keahlian Hitler yang paling menonjol. Ia mampu bersiul dengan nyaring di tengah padang rumput dan memainkan melodi musisi Wagner dengan siulannya secara tepat.

Bagaimana relasi konstruktif yang tak terbantahkan antara zaman baru, seniman, kesenian, dan peperangan? Bagi saya, Jerman merupakan contoh menarik menyoal keempat hal itu tadi. Perang Dunia II yang dikomandoi Jerman memperoleh dukungan Jepang dan Italia. Jepang yang terinspirasi semangat Asia Timur Raya ketika segala industri dibaktikan bagi perang dunia yang makin keras genderangnya (Arthur Golden, Memoirs of a Geisha). Sementara Italia tengah bangkit manakala Benito Amilcare Andrea Mussolini berhasil membangun kekuatan fasis. Penguasa Italia tahun 1922 – 1943 itu bergabung dengan Jerman untuk mewujudkan angkatan perang yang perkasa dan menguasai dunia.

Tak ada yang mengelak kehebatan Jepang dengan kesuksesannya membombardir Pearl Harbour di samudra Pasifik, yang dapat kita saksikan melalui beberapa film layar lebar versi Hollywood. Perang Dunia II begitu mengguncang, begitu mencekam, namun sekaligus mempertegas kenyataan bahwa seniman (dalam hal ini Adolf Hitler, alumni Akademi Seni Rupa Wina-Austria) sangat berperan.

Dengan kata lain seniman mengubah dunia. Tentang apa dan bagaimana perubahan yang disebabkannya sangat bergantung pada tafsir kita tentang teks. Seniman yang perkasa itu, yang membaktikan diri dan hidupnya untuk rakyat adalah zaman baru, istilah yang turut dipopulerkan Lothrop Stoddard. Ia mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang hidup dalam hati rakyat yang berkumpul menjadi satu bangsa. Setelah perang dunia kesatu, nasionalisme merupakan persoalan upaya menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa sebagai akibat dari meningkatnya paham fasisme dan sosialisme. Sesudah perang dunia kedua, nasionalisme ditandai dengan munculnya revolusi kemerdekaan dalam bentuk perlawanan terhadap imperialism dan kolonialisme di Amerika Latin, Asia, dan Afrika.

Seniman yang membangun dunia ~dengan paradigma kekuasaan~ pada gilirannya mampu mengoyak ingatan kita bahwa eksistensi seniman sangat layak diperhitungkan. Bukan pada pemihakan atas kegagalan nasib seniman tradisi (sebutlah seniman Cirebon) saat ini yang gagap budaya. New age yang belakangan muncul lagi sebagai ikon pemikiran mestinya mempergiat seniman tradisi untuk terus eksis di tengah zaman yang terus bergerak. Merujuk kuasa dan kampiumnya seorang Hitler, semoga menggairahkan serta menggerakkan kebangkitan seniman.

Jika seniman dan kesenian bangkit, tanpa berkeluh kesah tentang lemahnya penghargaan pemerintah berkuasa, kota kecil bernama Cirebon ini khususnya kelak akan menjadi sentrum kebudayaan. Mengingat adanya puser bumi , yang juga diyakini ada di beberapa tempat lain di Indonesia, saat pembuktian lurus pusat bumi dan sentrum budaya Cirebon itu harus segera dikerjakan secara smart.

Perang dalam teks sekarang adalah “peperangan” seniman terhadap kekuasaan. Peperangan dimaksud adalah kemandirian dan kemampuan seniman untuk tidak senantiasa bergantung pada kekuasaan dan penguasa atau pemilik otoritas sementara. Keterbatasan waktu berkuasa seseorang pemilik otoritas kekuasaan sebaiknyalah jadi modal kemandirian seniman. Tegak berdiri di atas kaki sendiri tanpa terjerembab menjadi pihak yang kalah dan ambigu terhadap kekuasaan.

Mustahil akan menjadi Hitler periode berikutnya apabila seniman masih bersenandung riang dengan sang pemilik otoritas kekuasaan. Dan mustahil pula tumbuh kemandirian sepanjang selalu mempersoalkan kecilnya keseriusan pemerintah membangun budaya berdasar (sebagaimana Hitler katakan) penciptaan untuk rakyat. Di tangan seniman, rakyat menanggalkan harap. Mampukah?***

*) dari berbagai sumber dan ingatan