Minggu, 25 Maret 2012

Impian Lama Menuju Kota Pendidikan

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

KETIKA pendidikan menjadi unsur penting pembentukan karakter bangsa, sejumlah akademisi pasti akan dihadirkan dan dihargai dalam proporsinya sebagai subjek. Pembentukan karakter bangsa yang sejak dulu digulirkan para pendiri bangsa, nampaknya kerap menghadapi hambatan. Hambatan itu pun diam-diam memperoleh “restu” pemerintah daerah. Restu tak resmi alias informal ini bisa berwujud keengganan memacu pertumbuhan anak bangsa dalam dunia pendidikan. Terlalu banyak contoh yang dapat dirujuk di sini. Untuk sekadar mengingatkan, program Wajib Belajar 9 Tahun yang dicanangkan pemerintah ternyata masih saja ada pungutan dengan berbagai nama dan alasan. Mestinya jika sekolah dari SD hingga SMP dinamakan wajib maka seharusnya sekolah tidak memungut biaya kepada siswa.

Fenomena ini diketahui umum, apalagi pemerintah setempat, tetapi tidak pernah ada tindakan konkrit pejabat terkait untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan perkataan lain besaran APBN yang dialokasikan bagi dunia pendidikan seharusnya mampu membiayai anak usia sekolah selama 9 (sembilan) tahun gratis. Sempat terlintas agar kepala daerah secara tegas mengeluarkan Surat Keputusan (SK) menyangkut hal ini. SK ini jelas berpihak kepada publik disertai konsekuensi berupa sanksi apabila ada yang melanggar isi SK tersebut. Sebut saja misalnya kepala sekolah dilarang memungut biaya pembangunan gedung pada saat pendaftaran siswa baru. Sanksi dimaksud misalnya mutasi atau pemecatan. Atau Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi beban daerah dan orang tua siswa dibebaskan dari segala pungutan. Ini jikalau pemerintah daerah serius menangani masalah pendidikan.

Ketidakseriusan penanganan masalah pendidikan sejak tingkat dasar berdampak pada tingkat selanjutnya. Di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) orang tua siswa tetap dibebani beberapa nama pemungutan atas nama pendidikan. Di tingkat perguruan tinggi negeri juga tak mustahil menemui kenyataan yang sama.

Pemerintah daerah seharusnya sigap dan segera menetapkan daerahnya sebagai kota pendidikan. Julukan yang seolah-olah menjadi milik Kota Yogyakarta itu sesungguhnya tidak keliru apabila diterakan di kota lain, Cirebon misalnya. Malang, dan Bandung pun telah memiliki status Kota Pekajar. Berangkat dari penerapan kota pendidikan itu diharapkan proses pembentukan karakter bangsa segera terealisasi, setidaknya untuk memberi pelayanan bidang pendidikan bagi rakyat. Pendidikan yang tidak semata-mata provitable melainkan bertanggung jawab tentang kualitas anak didiknya.

Sebagaimana diketahui sejak tahun 1980-an di Kota Cirebon banyak bertumbuhan pendidikan luar sekolah di bidang komputer ~yang saat itu berada di naungan departemen tenaga kerja. Pendidikan keahlian yang terus berkembang itu pun akhirnya diterima sebagai bidang pendidikan luar sekolah dan memperoleh akreditasi dari departemen pendidikan setempat. Maka lembaga pendidikan itu pun mengubah dirinya serta menarik lulusan SLTA untuk dibekali keterampilan komputer. Program word star, lotus, dan sebagainya ketika itu sangat populer dan diminati karena mempermudah kerja dan pengarsipan.

Begitulah pendidikan itu pun lantas meningkat menjadi pendidikan setara program D1. Peminat pun semakin banyak. Dan ini menciptakan dinamika pendidikan. Pada giliran berikutnya lembaga pendidikan yang terus eksis itu mengikuti perkembangan teknologi informasi. Maka ada keberanian menyelenggarakan pendidikan setara Diploma III dan seterusnya hingga mendaftarkan lembaganya ke Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kondisi ini patut disikapi dengan kesungguhan pemerintah kota memajukan daerahnya, utamanya di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan juga harus memenuhi kurikulum pendidikan tinggi sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002 Pasal 1 tentang kompetensi sebagai berikut : Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Keputusan ini jelas harus didukung oleh kesiapan penyelenggara pendidikan. Tidak sebatas ketersediaan sarana prasarana akan tetapi juga kualifikasi pengajar. Untuk mengajar tingkat S1 misalnya maka pendidikan minimal dosen harus S2 dan S3, dan untuk mengajar tingkat Diploma 3 maka sang dosen minimal S1 plus.

Pemerintah daerah tentu saja tidak boleh membiarkan proses pendidikan tinggi ini menjadi stagnan. Pendidikan tinggi bukan sekadar meluluskan mahasiswa dengan setumpuk buku dan data, lantas seusai lulus mencari kerja di perusahaan atau instansi pemerintah. Pendidikan tinggi harus mampu mengajarkan/ mendidik kemandirian mahasiswanya sehingga kelak setelah lulus bukan mencari kerja dan memasuki ajang bursa pencarian kerja, akan tetapi mampu menciptakan kerja sesuai dengan minatnya.

Awal Maret yang baru lalu, ketika berbincang dengan mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Kota Cirebon, saya memperoleh informasi bahwa kebijakan kampus kerap bertentangan dengan kompetensi kurikulum inti pendidikan tinggi. Dari kemampuan dosen mengajar hingga kebiasaan yang semata-mata menaikkan tarif Sistem Kuliah Semester (SKS), hingga adanya kemampuan melakukan penelitian ilmiah sesuai bidang atau jurusan yang ada. Biasa terjadi, dosen yang tengah melaksanakan proyek bisnis penelitian menurunkan mahasiswanya ke lapangan guna pencarian data. Fakta ini menjelaskan mengenai lemahnya kualitas moral para pengajar. Meskipun tidak semua dosen bertabiat demikian, tetapi fakta ini seharusnya dapat disingkirkan jauh-jauh untuk memenuhi kemampuan intelektual dan kejujuran dosen mengungkap (dan atau) menganalisis hasil penelitian.

Mahasiswa juga menyayangkan sepinya kegiatan diskusi di kampus mereka sendiri. Banyak terjadi katanya, mahasiswa ada di kampus saat mengikuti perkuliahan saja. Selebihnya entah di mana. Padahal sebagai agent of changes, seharusnya mahasiswa bergiat dalam aktivitas yang menguras pemikiran. Mahasiswa pun dituntut agar mampu berinteraksi langsung dengan masyarakat. Melalui kedekatan dengan masyarakat dan mengetahui keluhan masyarakat, pada saatnya mahasiswa tidak akan kesulitan memperoleh pekerjaan. Kekuatan jaringan sosial masyarakat jauh lebih penting daripada berkutat dengan lingkungan sesama mahasiswa sendiri. Jangan sampai mahasiswa berdiri di menara gading yang tidak tersentuh oleh masyarakat.

Menuju kota pendidikan bagi saya bukan merupakan impian semusim. Berharap agar Universitas Swadaya Gunungjati (Unswagati) Cirebon menjadi universitas negeri, juga bukan impian semusim. Impian agar segera Cirebon menuju kota pendidikan harus terus digagas dengan harapan melahirkan generasi tangguh yang (dalam bahasa Qur`an) rabbi radliyya, artinya memperoleh keridlaan Allah. ***