Selasa, 13 September 2011

Seandainya Pak Imron Suka Menulis

Mengenang Prof. Dr. HM Imron Abdullah

TOKOH pendidikan berpenampilan sederhana yang oleh kolega dekatnya dipanggil "abang" Minggu 11 September 2011 pulang ke haribaan ilahi. Tak dinyana, Minggu pagi abang masih membuka acara halal bi halal di Islamic Centre At Taqwa Cirebon. Setelah itu menghadiri resepsi pernikahan di sebuah hotel. Abang rebah lalu dibawa ke RS Pertamina Klayan, dan pukul 12.30 menghembuskan napas terakhirnya.

Beberapa kawan saling berkirim kabar melalui pesan pendek tentang kepergian abang. Semua terkejut lantaran tidak banyak yang tahu bahwa abang mengidap penyakit jantung, asam urat, dan gejala ginjal. Abang tetap ingin tampak sehat di depan teman-temannya. Termasuk ketika hari Rabu 7 September lalu menerima kedatangan pengurus At Taqwa di rumahnya.

Abang yang saya kenal cukup dekat ini, sejak sering kami undang berceramah di Klub Kajian Gerbang Informasi tahun 1990-an, memang dikenal luwes bergaul. Berbagai kalangan mengenal abang.

Sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Cirebon perinde tahun 2000 - 2010 bukan berarti kepemimpinan abang tanpa konflik dan friksi. Namun abang menyikapinya dengan kepala dingin. Tak banyak komentar kendati wartawan mengejar. Tahun konflik itu abang mengikuti saran almarhum KH Syarif Usman Yahya dari pondok pesantren Kempek Ciwaringin.

Diam itu emas, ternyata membuahkan hasil. Semakin diam semakin meredam persoalan, karena segala sesuatunya sudah ada yang mengurus. Alhamdulillah konflik pun berakhir.

Meski abang tidak lagi memimpin STAIN Cirebon, yang kemudian balik nama lagi menjadi IAIN, abang tetap mengajar di kampus tersebut. Sebagai guru besar pemikiran Islam, abang tetap konsisten membagi ilmunya kepada mahasiswa S1 dan S2.

Kedekatan abang dengan berbagai kalangan itu pula yang mengantarkannya memimpin Mesjid Raya At Taqwa dan Islamic Centre Kota Cirebon. Bersama sejumlah aktivis mesjid, berbagai program dirancang bagi kemaslahatan umat.

Namun tak ada yang tahu usia manusia kecuali Al Khaliq. Usia 60 abang pulang. Tak akan terlihat lagi pria yang suka menolong orang lain itu, termasuk dalam hal keuangan. Kabarnya, abang suka datang ke lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswanya untuk memberi spirit (bahkan) sejumlah uang kepada mahasiswanya.
Di hadapan mahasiswanya, ketika abang memberi kuliah menggunakan cara yang mudah dipahami, karena abang selalu mengajak mahasiswa berpikir kritis dan selalu mengedepankan logika berpikir sebagai alternatif dalam merespons perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula abang adalah orang mempermudah urusan dan member kemudahan kepada siapa pun yang meminta bantuan. “Dan dalam hal perbedaan pendapat, abang tidak diragukan lagi,” papar Syaiful Badar, mantan mahasiswa abang yang juga bersama abang menjabat pengurus Mesjid At Taqwa dan Islamic Centre Cirebon.

Usai dishalatkan di Mesjid Al Muhajirin Komplek Mega Endah Cirebon menjelang Maghrib, jenazah diberangkatkan ke kampung kelahirannya di RT 5 RW 13 Kelurahan Brebes Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Rektor IAIN Nurjati Cirebon Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar dan Sekretaris Daerah Kota Cirebon Drs. H. Hasanudin Manaf dan kerabat turut mengangkat keranda jenazah abang dari mesjid ke mobil ambulance. Tangis anak perempuan abang menghanyutkan suasana duka. Rombongan kendaraan pun bergerak menuju Brebes.

Dalam sambutannya, Maksum Mukhtar mengatakan, "Abang adalah orang baik. Saya bersaksi adalah orang baik yang mengetahui kesalahan-kesalahan bawahannya dalam kepemimpinannya di IAIN. Tapi abang juga adalah orang yang pandai menutupi kesalahan bawahannya. Saya mengenal beliau sangat dekat dan saya merasa kehilangan."


Bagi aktivis pergerakan mahasiswa, abang bergiat di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sejak kuliah S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta lalu menjadi dosen di IAIN Sunan Gunungjati Cirebon. Aktivitas di HMI pula penyebab abang dekat dengan lingkaran intelektual dan aktivis di Jakarta.

Menurut pengakuan seorang mahasiswa, jelang Reformasi 1998 abang tak tinggal diam. Berbarengan tengah mengikuti perkuliahan S3 di IAIN Jakarta, abang diam-diam menjadi bagian tak tertulis dari gerakan mahasiswa saat itu. Konon abang biasa loncat dari kereta api saat perlahan memasuki stasiun Jatinegara agar mudah mendapat angkutan umum.

Suatu ketika abang bercerita tentang ayahandanya di Brebes. Katanya, ayah saya itulah yang menanamkan berbagai pelajaran kehidupan. Sikap abang yang sederhana, mengalah, moderat dan merangkul berbagai organisasi Islam ~merupakan bagian pelajaran ayahandanya. Demikian pula kebiasaannya menyimak pembicaraan orang lain.

"Keuntungan menjadi pendengar ialah memperoleh banyak informasi dari orang lain. Kita lantas memformulasi input tersebut untuk mengambil langkah terbaik," kata abang.

Kedekatan kembali dengan abang berlangsung saat pengasuh pondok pesantren Kempek Ciwaringin KH Syarif Usman Yahya sakit. Abang kerap sowan kepada Kang Ayip. Di perjalanan abang bertutur tentang masalah pendidikan dan situasi sosial politik.

Namun sayang sekali, kita yang ditinggalkan abang tidak memperoleh sebuah kitab karya abang menyangkut pemikiran Islam yang terus berkembang. Pemikiran agama yang selalu dihadapkan dengan berbagai pemikiran lain dan saling berebut menyesaki wacana dan ruang publik. Seandainya abang suka menulis --baik di koran majalah atau buku-- tentu kita akan lebih memahami pemikirannya. Terlebih bagi sejumlah teman yang jarang berdialog dengan abang.

Seandainya abang senang menulis di media apa pun, kepergiannya yang cukup mengagetkan itu dapat sedikit terobati dengan membaca karya tulisnya. Seandainya abang senang mempublikasikan tulisan-tulisannya mengenai perkembangan Islam, pergulatan pemikiran Islam, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam dan kemanusiaan, maka jika merindukannya kita dapat menelaah karya-karya tulisnya.

Meminjam Pramudya Ananta Toer dalam Rumah Kaca, “Agar seseorang tidak hilang dari masyarakat dan sejarah, maka tak ada jalan lain kecuali menulis”.***