Kamis, 04 Agustus 2011

Titip Nasib ke Pabrik Gula

Oleh Dadang Kusnandar

TAHUN 1700-an di Jakarta ada delapan buah pabrik gula. Tidak dijelaskan lokasi pabrik tersebut, namun data itu menunjukkan kesungguhan kolonial (VOC) mengeksploitasi kekayaan bumi imperiumnya untuk memenuhi kas negaranya di Belanda. Pulau Jawa memang jadi sasaran berdirinya lokasi pabrik gula, dari Jawa Barat ke Jawa Timur jumlahnya mencapai 44 (empat puluh empat) buah. Pendirian pabrik gula di Jawa beralasan karena tanahnya yang subur dengan puluhan gunung vulkanik yang turut membantu kesuburan tanahnya. Tak terkecuali di Cirebon. Beberapa pabrik gula dibangun, lahan tebu pun tersebar mencapai area ratusan hektar.

Entah ini sebuah keberuntungan atau kesialan. Beruntung lantaran dinamika ekonomi kolonial yang hegemonik itu pun, mampu menarik tenaga kerja kaum pribumi. Kendati pendapatan yang diperoleh sangat tidak berimbang bila dibanding dengan tauke Tionghoa dan pihak kolonial. Keberadaan pabrik gula pun menyegerakan terbentuknya pemukiman buruh ladang tebu dan kuli pabrik. Sial lantaran kerja keras kaum pribumi tidak memperoleh haknya secara pantas. Bahwa tanah yang didirikan pabrik di atasnya adalah milik mereka yang dirampas, begitu pula ladang tebunya. Sementara kaum penghisap dan tauke Tionghoa mendulang untung sangat besar bagi pemenuhan pundi-pundi emas dan kekayaan mereka.

Kesialan lainnya adalah Sistem Tanam Paksa yang diterapkan van den Bosch atas tanah jajahannya berusaha mengambil 1/5 luas lahan tanah yang dikerjakan rakyat untuk ditanami tanaman ekspor yang laku di pasaran Eropa. Tanah tersebut harus dikerjakan oleh rakyat tanpa bayaran di bawah kendali para petugas bangsa Eropa yang ahli di bidang teknis. Hasil tanaman tersebut diserahkan kepada pemerintah yang selanjutnya meyerahkan pengolahannya pada para pengusaha. Ketentuan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 22, 1834. Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa penyerahan tanah adalah atas dasar persetujuan penduduk, dengan pembebasan pajak bumi bagian tanah yang terkena wajib tanam. Apabila hasilnya melebihi nilai pajak bumi, maka kelebihannya itu akan diberikan pada petani, namun apabila lebih rendah petani tidak memperoleh apapun, dan kegagalan panen yang tebukti bukan karena kelalaian petani menjadi resiko pemerintah.

Pada tahun 1830-1870 gula telah menjadi konsumsi harian masyarakat Eropa dan hal itu merupakan bukti adanya celah pasar untuk perdagangan gula di level internasional. Celah pemasaran gula di Eropa terjadi karena para investor gula yang sebagian besar berkebangsaan Inggris bangkrut akibat kegagalan investasi di Pamanukan-Ciasem.Periode ketiga perkembangan industri gula di Jawa yang merupakan pelaksanaan eksploitasi pihak swasta atas tanah jajahan terbentuk atas landasan periode kedua yaitu pada kurun Sistem Tanam Paksa.

Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch pada 1830 mempunyai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari hasil komoditas perkebunan di Jawa yang dapat dijual ke pasaran Eropa. Hasil perkebunan yang dimaksud adalah produk hasil bumi pertanian beserta perangkat pengolahan dasar. Agar dapat bersaing di pasar dunia, maka komoditas hasil Sistem Tanam Paksa harus mempunyai kualitas, mutu yang setara atau lebih baik dan berharga murah dibandingkan dengan komoditas serupa yang diproduksi oleh bangsa lain di dunia.

Untuk mencapai tujuan itu, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa perlu membuat pribumi Jawa memproduksi dan mengolah komoditas yang dikehendaki namun dengan biaya seminimal mungkin. Hal itu berarti pemerintah kolonial berusaha menggagas corak produksi yang berjalan terpisah dengan azas-azas pengaturan yang diatur pasar dunia. Dengan kata lain, Jawa dijadikan daerah produksi yang memenuhi kebutuhan sendiri dengan corak masyarakat sosialis modern (van Niel, 2003: 58).

Pada 13 Agustus 1830, Bosch telah menyetujui penanaman tebu dan penggilingan gula di keresidenan-keresidenan yang dianggap potensial bagi indutri gula sepanjang pesisir pantai utara Jawa (Elson, 1978: 37). Terdapat tiga variasi dalam penentuan letak pabrik gula yang dapat dibedakan berdasarkan geografis, yaitu: pola wilayah tengah yang meliputi Cirebon-Pekalongan-Semarang; pola distrik Jepara; dan pola wilayah timurmeliputi Surabaya-Pasuruan-Besuki (van Niel, 2003: 58). Hal yang penting dalam penentuan tempat (keresidenan) bagi penempatan industri gula adalah keresidenan yang memiliki jumlah populasi yang memadai. Olehkarena pada saat itu masih sulit mendapatkan pengusaha yang berminat mendirikan pabrik gula berdasarkan kontrak pemerintah, maka penanaman tebu dilakukan dalam skala terbatas di wilayah Cirebon-Pekalongan-Semarang (Cahyono, 1991: 15; Atmosudirdjo, 1983: 2000).

Petani Vs Pemilik Pabrik
Terbengkalainya pertanian sawah sebagai akibat dari munculnya industri gula selalu menyebabkan sumber konflik antara petani dengan pemilik pabrik. Konflik itu merupakan wujud dari persaingan secara langsung antara petani pemilik lahan yang menginginkan lahannya digunakan untuk tanaman pangan dengan pabrik gula yang membutuhkan lahan yang murah bagi tebu. Akumulasi dari konflik itu pada akhirnya banyak menuai reaksi dari petani dengan cara pembakaran perkebunan tebu. Pembakaran tebu merupakan fenomena yang biasa terjadi, karena dengan cara tersebut para petani dapat mengungkapkan protesnya. Pembakaran perkebunan tebu oleh petani di Jawa sering terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, yaitu pada saat lahan sawah ditanami tebu dan pula pada waktu tersebut merupakan bulan-bulan dengan suhu terpanas ditambah lagi dengan banyaknya daun tebu yang mengering sehingga dengan mudah dapat terbakar. Pembakaran perkebunan tebu itu tidak hanya mengancam produksi gula namun juga mengancam stabilitas politik di daerah penanaman tebu (Mubyarto,1992: 80).

Munculnya konflik petani dengan pemilik pabrik memperlihatkan betapa sistem ekonomi kapatalistik dan hegemonik yang diterapkan pemerintah kolonial berakhir dengan kekerasan massa. Beralasan kiranya bila sejarah Indonesia mencatat pemberontakan petani di Banten, yang dapat kita baca di buku Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan petani itu merupakan kausalitas ketidakpuasan petani atas kesewenangan dan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Petani hanya menjadi korban penghisapan, sedangkan pemerintah kolonial meraup keuntungan besar di atas keringat dan darah petani.

Demikianlah lintasan pendek menyoal pabrik gula di Jawa dengan petani. Petani yang pada akhirnya tidak memiliki apa-apa dan tetap dengan kemiskinannya. Ironinya sampai kini pun petani tetap miskin lantaran tanah yang dimiliki disewakan kepada pabrik gula. Lantas mereka menjadi petani penggarap di atas tanahnya sendiri. Menjadi buruh di tanah sendiri, suatu keadaan yang berbalik diametral dengan konsep swadesi ala Mahatma Gandhi, atau Marhaen ala Bung Karno.

Dengan demikian perlu adanya format baru dalam hubungan petani tebu, pabrik gula (yang telah dinasionalisasi), pedagang gula yang difasilitasi oleh negara. Di sinilah kiranya keberadaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (ATPRI) menjadi penting untuk menjembatani hubungan mutualis agar kesialan petani tebu tidak terulang kembali. Di tengah kondisi mesin produksi pengolahan tebu yang tua, produksi gula nasional terus digenjot agar mampu mencapai swasembasa gula pada 2014. Tentu saja ini perlu kerja keras semua pihak terkait.

Kabar terakhir, dua pabrik gula di Cirebon yakni PG Sindanglaut dan Karangsuwung akan tutup. Menurut data yang ada, kebangkrutan kedua pabrik itu tinggal menghitung bulan. Akan dikemanakan para pekerja di sana, lalu bagaimana nasib petani tebu, juga semua jaringan yang terkait dengan pergulaan? Pertanyaan lain, swasembada gula yang dicanangkan tahun 2014 apakah akan berhasil atau hanya memperpanjang waktu karena ketidakmampuan pemerintah mengembalikan Indonesia sebagai eksportir gula terbesar di dunia?

Di tengah tantangan itulah, pabrik gula yang terus dirayapi ketuaan masih tetap memiliki peran ekonomi. Meski aktivitasnya seakan berdenyut sesaat setelah musim panen tebu tiba, yang dikenal dengan istilah giling, sejumlah orang tetap "menitipkan" nasibnya kepada pabrik gula.***