Senin, 06 Juli 2009

Ambalat dan Kedaulatan Negara

Catatan Dadang Kusnandar :
Jum`at 5 Juni 2009, diperbarui Senin 6 Juli 2009

Hanya ada satu tanah yang dapat disebut tanah airku. Ia tumbuh dan berkembang dengan cinta. (Bung Hatta, Denhaag 1933)


Membaca Ambalat bagai membaca ketidaksiapan Indonesia berhadapan dengan negara lain dalam hal batas kontinental. Berdasar alasan apa pun, hingga kini belum ada sikap yang jelas untuk menyelesaikan masalah batas negara. Agaknya kekuatan lobi internasional Indonesia, terutama para diplomat yang bernaung di departemen luar negeri, harus segera merealisasikan konvensi internasional mengenai teritorial Indonesia. Meskipun kita menggunakan asas bebas aktif, namun belum ada tanda-tanda pembicaraan Ambalat di fora internasional.

Apakah karena ikhtiar kita terfokus pada Pilpres 2009 yang sudah tampak di depan mata? Apakah karena kita abai memperhatikan dan membangun pulau-pulau terluar sehingga dengan mudah negara luar mencaplok wilayah Indonesia yang tidak terurus itu? Ataukah memang kita hanya peduli terhadap pulau-pulau yang telah memiliki nama serta menghasilkan kekayaan (sumber daya alam) saja, lantas melupakan batas teritorial atau zona ekonomi eksklusif? Barulah setelah ada masalah serius sebagaimana dulu Sipadan Ligitan pindah tangan ke Malaysia, kita misuh-misuh melihat fenomena Ambalat?

Saya tidak tahu persis. Saya hanya coba meraba. Betapa pentingnya menjaga kedaulatan negara kian hari kian tak terjaga, lantaran ekspansi negara lain yang mengambil bagian terluar Indonesia. Sementara kita hanya duduk manis, menyerahkan problem besar ini ke tangan Mahkamah Internasional. Ataukah kisah ini merupakan perpanjangan atas buramnya masalah pertanahan di Indonesia?

Sudah menjadi rahasia umum, sepetak tanah di Indonesia memiliki sertifikat lebih dari satu. Akhirnya muncul pertikaian sesama bangsa sendiri (bahkan sesama saudara) demi mempertahankan sepetak tanah. Tak urung terjadi kekerasan --tak jarang diwarnai merahnya darah-- baik antar saudara maupun dengan petugas Satpol PP. Sepotong tanah yang diperebutkan, sepotong tanah yang ditengarai oleh lebih dari satu surat kepemilikan -- dalam konteks lebih luas menimpa Ambalat.

Ambalat dan kerumitan yang berlangsung padanya merupakan kisah sepotong pulau (gugusan tanah, air, pepohonan, satwa yang hidup di dalamnya, juga manusia yang menghuninya) terluar yang kurang diperhatikan pemerintah. Kisah sepotong pulau sedemikian pun (bisa saja terjadi) di perairan lain di batas Indonesia. Kabarnya masih banyak pulau yang tak bernama di Indonesia, masih banyak pulau tak berpenghuni di Indonesia, serta masih banyak pulau berpenghuni namun kurang memiliki identitas keindonesiaan.

Bagi saya Ambalat bagai menyentakkan kesadaran kita tentang perlunya menjaga kedaulatan negara, menjaga keutuhan batas negara, serta menjaga persatuan Indonesia di bawah Merah Putih yang harus berkibar dari batas 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan, dan 95 derajat Lintang Timur sampai dengan 194 derajat Lintang Timur. Faktanya Merah Putih tidak berkibar di Sipadan dan Ligitan. Mungkin pula tidak berkibar di Amabalat. Begitulah ketika Malaysia menancapkan benderanya di Ambalat lalu mengurus administrasi kepulauannya, kita tersinggung, kita misuh-misuh dan kita baru terbangun dari mimpi : demikian pelikkah masalah pulau terluar?

Saat belajar civic (pendidikan kewarganegaraan) di sekolah dasar dan menengah, maupun belajar kewiraan di perguruan tinggi; guru saya mengajarkan pentingnya menjaga kedaulatan negara dari infiltrasi serta intervensi negara lain. Dari film-film perang Vietnam, saya mendapat pelajaran pentingnya indoktrinasi mempertahankan sepotong tanah air dari gangguan negara lain. Dari kisah pewayangan, saya dapatkan pelajaran berharga ketika Yudhistira kalah main judi dadu hingga harus keluar istana (Hastinapura) dan dinasti Pandawa mengalami tantagan berat membabat alas, mendirikan kerajaan baru. Dari obrolan bersama pejabat dan kawan-kawan aktivis, saya mendapat pelajaran berharga menyoal perlunya mempertahankan Indonesia Raya, Nusantara Jaya yang telah lama digagas para kreator Indonesia. Dari buku, saya memperoleh imajinasi betapa perlunya memiliki harga diri bangsa di tengah pergaulan internasional. Dan dari perjalanan maupun perenungan, saya mendapati begitu pentingnya kita menunjukkan identitas diri sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat dan dihargai di fora internasional.

Pelajaran yang didapat lewat beragam cara seharusnyalah menyentakkan betapa pentingnya mempertahankan kedaulatan Indonesia, hal mana menjadi tidak terbantah ketika berhadapan dengan pengambilan alihan sepotong pulau di bagian terluar. Ia juga tidak terbantah saat konsentrasi kita sebagai bangsa tengah asik dengan hiruk pikuk permasalahan dalam negeri. Menjaga kedaulatan dan mempertahankan kedaulatan negara sebagai bagian integral atas kesinambungan Indonesia di masa mendatang; memiliki relevansi yang jelas dengan kesungguhan kita mempertahankan kekayaan (pulau dan segala isinya) yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia.

Sejak dulu kita dikenal sebagai pelaut ulung hingga Madagaskar di bagian Tenggara Afrika masuk ke dalam Nusantara, sejak lama pula kita dikenal sebagai bangsa yang menghargai kedaulatan negara dan kedaulatan bangsa lain; tapi cukupkah sampai di situ? Ambalat, sekali lagi merupakan dilema yang semestinya menjadi bagian penting tiga pasang capres cawapres memberikan solusi. Tidak ikut arus entertainmen, mengomentari Manohara atau Prita hingga dijenguk di penjaranya. Tiga pasang cawapres itu, dalam pandangan saya, sedang diuji kredibilitasnya menyangkut kedaulatan negara.

Demikian pula berbagai forum internasional yang diikuti Indonesia seharusnya memberi spirit tentang pentingnya sikap saling memahami dan menghormati hak-hak (terutama kedaulatan) negara lain. Kita adalah pendiri ASEAN, kita pun pendiri Non Blok, Indonesia juga pencetus organisasi negara-negara Asia Afrika. Namun kita selalu kalah dalam lobi internasional menyangkut pulau-pulau terluar, sehinga sedikit demi sedikit diambil negara lain.

Kedaulatan Terkikis
Kini sepertinya sebagian kita sibuk memelototi Pilpres 2009. Lupa bahwa akan ada sebuah pulau yang (mungkin) bakal diambil Malaysia. Kita selalu kalah diplomasi di tingkat internasional, terlebih ketika menyangkut kepentingan AS yang pada mulanya berangkat dari faktor ekonomi. Ambalat yang kaya sumber daya alam menjadi incaran, seperti Timor yang lepas lantaran keterlibatan Australia dan AS. Padahal pangkalan militer AS di Subic Philifina sudah berakhir, namun kita mengundang kehadiran tentara AS.

Teman saya, seorang missionaris kristen yang kini bertugas di Papua menjelaskan, kapal perang AS biasa merapat di perairan Papua. Kita hanya cukup melangkahkan kaki untuk singgah di palka kapal perang AS. Konon kedatangan kapal AS ini tak lepas dengan kepentingan ekonomi di Freeport (namanya saja Freeport = pelabuhan bebas). Kekayaan Papua yang seharusnya menjadi milik bangsa Indonesia --wabil khusus masyarakat Papua sendiri-- ternyata mengalir ke AS. Akankah Ambalat bernasib serupa? Disinggahi kapal AS lantaran Malaysia masih akrab dengan Inggris dan AS.

Kedaulatan negara yang patut dipertahankan sepertinya bisa terkikis justru oleh ulah kita sendiri. Ketika kita abai melihat persoalan krusial hanya dengan kacamata pasrah pada keputusan negara adidaya atau kalah di mahkamah internasional menyoal zona ekonomi eksklusif sehingga kapal asing bebas mengeruk kekayaan laut Indonesia. Kedaulatan yang mestinya terus terpatri dan dicangkok dalam keindonesiaan kita, bisa luntur karena perkara lain yang subtil. Ada kalanya muncul kebanggaan ketika warga negara Indonesia bekerja di perusahaan asing dan dibayar dengan dolar AS. Ia jadi lupa atau sedikit demi sedikit menjadi warga asing di tanah airnya sendiri. Menjadi tidak penting lagi untuk mempertahankan kedaulatan lantaran kebutuhan finansialnya telah dipenuhi orang asing.

Kita tidak ingin Ambalat berganti alamat.

Pemilu Legislatif 2009

Catatan Dadang Kusnandar

Kamis 9 April 2009 hari H Pemilu legislatif. Pukul 05.45 wib saya meneruskan sms yang diperoleh seorang kawan dekat di Indramayu 27 Maret 2009 pukul 21.20.49 wib. Isi sms yang panjang itu : Aja milih kuning lamun atine ora bening. Aja milih abang lamun kegembang lambe abang. Aja milih ijo lamun doyan mbebodo. Aja milih biru lamun kegawa ning garu. Aja milih gadung bokat wedi kesandung. Aja milih ireng lamun gawe urip kang bureng. Pilhen sing suci. Sing wis adus getih. Tirakat panas perih. Kocap lan tindak kraket dadi siji.

Artinya lebih kurang : Jangan pilih kuning kalau hati (caleg) nya tidak bening. Jangan pilih merah kalau tergoda bibir merah. Jangan pilih hijau bia suka berbohong. Jangan pilih biru kalau terbawa garu. Jangan pilih kuning muda barangkali takut tersandung. Jangan pilih hitam kalau membuat hidup menjadi buram. Pilihlah yang suci (bersih). Yang sudah mandi darah. Tirakat (kontempelasi) panas perih. Ucapan dan tindakan melekat jadi satu.
Sms panjang yang seru itu membangkitkan semacam kesadaran, bahwa pemilu kali ini harus benar-benar memilih caleg yang berkualitas. Kenali track recordnya baik di dalam parpolnya maupun keterlibatan di masyarakat.

Dari 16 sms panjang yang saya sebar ada beberapa yang menjawab seperti berikut : (1) Sing jelas sekien akeh kelambi abang atie lebih kuning (yang jelas, sekarang banyak yang berpakaian merah hatinya lebih kuning). (2) Pemilu semrawut, lalu lintas semrawut, pedaringan susut (tempat beras susut). (3) Pilih kang endi bae majikane siji: Ali Baba. Rakyat dikongkon mengkenen dikongkon mengkonon tapi bli pernah dikongkon sugih bareng. Niat ingsun milih geguyuban mbangun budaya politik kanggo mbesukiki. Bismillah! ( memilih yang mana saja tuannya satu: Ali Baba. Rakyat disuruh begini disuruh begitu tetapi tidak pernah disuruh jadi kaya bersama. Niat saya guyub membangun budaya politik untuk esok. Bismillah!).

(4) Kang mekoten saniki mboten wonten, dados kula mboten milih mawon nggih.......wilujeng (yang seperti itu sekarang tidak ada, jadi saya tidak memilih saja ya..... selamat). (5) Ladala....ninggal glanggang, lunga playon, ya wis ora apa-apa asal manungsa jagat nusantarae delap urip panjang umur, ana deleng dideleng, ana rungu dirungu, sing sugih rezeki getol tawasulan. Para pemimpine ora pada takabur lan keblinger, aja ngrasa bisa durung bisa diartiken kang bener-bener bisa ngayomi masyarakate kang adil peceka! Nyuwun pangampura kula......matur kesuwun (ladala.....meninggalkan gelanggang, pergi lari, ya sudah tidak apa-apa asal rakyat nusantara diberkahi panjang umur, ada yang dilihat-- lihat saja, ada yang didengar --dengar saja, yang kaya rizki gemar tawasul. Para pemimpinnya tidak takabur (sombong) dan semau sendiri, jangan merasa bisa tidak bisa diartikan yang benar-benar bisa mengayomi masyarakatnya agar adil sejahtera! Mohon maaf saya.....terima kasih.

Namun ada yang menjawab demikian: SBY Presidenku PKS Partaiku. PKS-Presiden keren sekali karena partai kuning merah ijo itu golongan-golongan para pencipta korupsi KKN dan penjual aset negara.

Ada juga yang membalas seperti ini: Saat ini banyak ketidakpastian, parpol kehilangan kontrol. Riak kemarahan terjadi di Bandung seperti mendungnya langit saat ini, dan di mana-mana berlangsung delegitimasi terhadap KPU daerah. Kita tidak patut bersyukur atas hasil pemilu 2009 karena kecilnya perolehan suara partai sebagai cermin mesin politik tidak mampu bergerak secara progesif. Bahkan kita berkabung karena liberalisasi politik telah merontokkan identitas partai dan rasa kebersamaan ideologi kerakyatan. Pemilu ini menjebak kita pada pusaran-pusaran kapitalisme politik. Alhasil semua energi dikerahkan hanya untuk kepentingan individu sesuai dengan roh kapitalisme. Begitulah setidaknya kita punya kehendak yang progesif karena kalau kita menunggu pemilu hampir sama dengan kita menunggu bubarnya ibu pertiwi ini. Buat kita, pemilu melalui sistemnya adalah fase demi fase runtuhnya kesadaran nasionalisme kita yang telah direncanakan secara sistematis. Entah oleh siapa......?

Mengapa saya mengirim sms seperti itu? Sms panjang (lms) dari Saptaguna di Indramayu itu mengingatkan saya, minimal untuk tidak salah memilih caleg pada 9 April. Dan sebagai upaya saling mengingatkan maka saya mengirimkannya kepada teman-teman di Cirebon, Bandung dan Jakarta. Bukan apa-pa, cuma untuk mengingatkan jalan sekali-kali memilih seorang caleg tanpa mengenal track record politiknya, jangan memilih caleg yang tidak kita kenal -- kendati dalam beberapa hal saya termasuk menyayangkan proses pemilu 2009 yang menurut banyak orang : acak adul. Tak heran jika ada teman yang secara eksplisit menjawab sms saya : Golput!

Lalu Apa?

Pemilu legislatif 2009 sudah berakhir dan KPU telah menetapkan perolehan suara serta peolehan kursi tiap parpol di parlemen. Kendati masih menyisakan problem yang cukup krusial, yakni masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikhawatrikan akan muncul lagi pada Pemilu Presiden Rabu 8 Juli 2009 yang tinggal dua hari itu; pemilu legislatif tetap mencerminkan tumbuhnya demokrasi di Indonesia.

Banyak kalangan menilai telah terjadi penurunan kualitas caleg terpilih yang akan mewakili suara para pemilihnya di DPR, DPRD, dan DPD. Akan tetapi karena kita masih menganut sistem parlementer, maka mau tidak mau kita harus menerima hasil pemilu 9 April lalu. Sorotan atas hadirnya sejumlah artis sinetron, model, tokoh lokal yang dikenal warga setempat, wajah lama DPR, DPRD, dan DPD yang kembali berkiprah pada 2009 - 2014 setidaknya memberikan nuansa baru penilaian kita pada proses demokrasi langsung, terbuka, dan serentak di seluruh Indonesia ini.

Apa pun hasilnya, inilah wajah negeri kita. Negeri yang kaya raya namun dililit banyak persoalan serius menyangkut hubungan antarnegara (ingat: Amabalat dengan Malaysia, ketergantungan utang luar negeri, hubungan diplomatik dengan Israel, dan sebagainya), etnosentrisme yang masih mengganggu kebhinekaan, korupsi yang susah dibasmi, pendidikan nasional yang selalu jadi ajang uji coba, masalah kesehatan masyarakat yang terus didera sistem penjatahan bagi orang miskin namun banyak praktek penyimpangan di tubuh departemen kesehatan, buruh yang ditinggalkan serta kurang ditaut UU Perburuhan No.13/ 2005, dan masih banyak persoalan besar yang menantang. Menuntut penyelesaian yang memihak kepentingan publik.

Mereka yang terpilih seharusnya tidak terbuai dalam kesenangan semata. Take home pay untuk anggota DPR RI dan DPD RI senilai Rp 58,4 juta per bulan, belum ditambah uang reses per tiga bulan, seharusnya memacu semangat kerja yang optimal bagi perbaikan bangsa ke depan. Duduk di kursi panas di parlemen seharusnya diniati oleh keinginan mengabdi kepada bangsa. Bukan menyakiti bangsa. Bukan mengkhianati perasaan publik.

Pilpres 2009: Proses Atau Parodi

Pemilu Presiden yang tersisa 2 hari ini tampaknya tidak mempengaruhi aktivitas warga. Publikasi televisi yang gencar : debat capres cawapres, iklan capres cawapres, dukungan yang terus mengalir kepada kandidat -- sepertinya terhenti ketika kantor pendidikan nasional kota Cirebon menetapkan Sabtu 4 Juli 2009 sebagai hari testing masuk ke SMP Negeri dan SMA Negeri / SMK Negeri. Pengumuman penerimaan siswa baru dijadwalkan Kamis 9 Juli 2009. Orang tua sibuk menyediakan berbagai sarana untuk penerimaan siswa baru karena proses belajar mengajar ditetapkan Senin 13 Juli 2009.

Pilpres yang menelan biaya Rp 25 triliun itu bagai "tenggelam" oleh kesibukan agar anak dapat diterima di sekolah yang diminati. NEM atas UASBN yang dinilai 50% dan 50% sisanya dari hasil test, tetapi bagi pendaftar yang berprestasi dengan melampirkan sertifikat yang dilegalisir diknas setempat konon sudah memperoleh angka 20%.

Memasuki hari tenang sejak Senin 6 Juli ini hampir tidak ada keriuhan lagi, selain di studio televisi yang gencar mematut-matut Pilpres 2009 sebagai turning point Indonesia ke depan. Lima tahun ke depan Indonesia ditentukan oleh pilihan kita di TPS. Tetapi inilah asiknya bangsa Indonesia : lebih intens menindaklanjuti kebutuhan sesaat. Memang tidak salah jikalau orang tua menghendaki anaknya bisa diterima di sekolah negeri sesuai dengan keinginan anak. Tidak salah pula jika orang tua memfokuskan kegiatannya agar keinginan tersebut terwujud. Maka berbagai cara ditempuh. Ada yang menitipkan anaknya kepada "aparat" partai politik, forum diskusi, ormas, termasuk ada pula yang langsung menitipkan kepada guru atau panitia Penerimaan Siswa Baru di sekolah yang dituju, serta ada yang menitipkan kepada jajaran diknas terkait.

Saya pernah menyaksikan debat capres cawapres sekira tiga kali. Penilaian saya pun (subjektif) mematok bahwa acara debat TIDAK MENARIK. Pertama, ia lebih suka jikalau capres cawapres menjawab pertanyaan panelis secara cepat, tanpa memperhatikan (menyimak) isi jawaban capres cawapres. Kedua, tidak ada kedalaman di balik pertanyaan serta jawaban capres cawapres. Ketiga, panelis dan presenter berebut ruang untuk bicara, seakan acara itu menjadi porsi mereka. Keempat, pemirsa di dalam studio sudah menentukan capres cawapres tertentu -- dan pemirsa di rumah tidak akan mengubah pilihannya setelah menyaksikan debat itu. Kelima, karena acara tidak menarik (bukan presentasi capres cawapres) maka pemirsa memindahkan chanel televisinya.

Saat ini mungkin hanya tim sukses capres cawapres yang masih giat mengotak-atik perkiraan angka perolehan Rabu 8 Juli mendatang. Selebihnya, banyak aktivis parpol hanya menunggu Hari H. Sementara masyarakat secara umum tampak lelah dengan kesibukan yang harus segera diselesaikan saat ini juga. Begitulah adanya, kita tidak begitu terlibat dengan ajang demokrasi lima tahunan untuk menentukan arah Republik Indonesia lima tahun ke depan. Bisa saja hal ini berlangsung karena kita belum lama melaksanakan pemilu legislatif 3 bulan ke belakang, lengkap dengan hiruk pikuknya, malah masih tersisa persoalan yang mengundang tanda tanya besar (baca: DPT).

Belum lagi bagi warga kebanyakan yang lebih suka berpikir sesaat, berpikir tentang pedaringan jomplang (tempat beras yang kosong), berpikir besarnya biaya pendidikan SMP dan SMA/ SMK, berpikir utang yang tidak selesai, berpikir mengenai kebutuhan sehari-hari. Jadi ruang untuk memikirkan nasib Indonesia lima tahun ke depan, sepertinya diserahkan kepada mereka yang mau saja.

"Bung, sudahlah menteri banyak. Gubernur, walikota, bupati banyak. Orang pintar banyak. Tidak perlu pikirkan negara. Pikirkan saja keluarga kita, makan apa hari ini?", gurau seorang kawan. Saya menjawab ringan, "Iya juga sih, tapi di kota ini juga banyak orang yang bertanya, makan di (restoran) mana hari ini?".

Bila perbincangan bertumpu pada makananan dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar, boleh jadi Pilpres 2009 menjadi tidak menarik. TPS bakal sepi. Dengan kata lain bakal cepat KPPS menghitung perolehan suara kandidat presiden 2009 - 2014 di TPS masing-masing. Saya tidak tahu, apakah suasana seperti ini menguntungkan proses demokrasi di Indonesia. Atau sebaliknya, kini tengah berlangsung parodi demokrasi di Indonesia.